Narasi Dawam Rahardjo dan Ulul Albab

(Mengenang Kepergian Almarhum, Cendekiawan Dawam Rahardjo)

Cendekiawan Muslim Dawam Rahardjo meninggal dunia pada usia 76 tahun. Semasa hidupnya Dawam Rahardjo dikenal sebagai sosok yang kritis dan mendukung pluralisme. Dawam bahkan mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada 2013. Yap Tiam Hien diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. 

Dawam lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 April 1942. Dia meraih gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Lulus UGM, ia aktif berkarier di dunia pendidikan. Dia sempat menjadi Direktur LP3ES, Rektor Universitas Islam 45 Bekasi, hingga Ketua Tim Penasihat Presiden BJ Habibie pada 1999. Dawam juga sempat menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim pada 1995 hingga 2000 lalu. Dawam juga aktif tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dibesut Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (di Media Kompas).
Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom, sekaligus budayawan yang pernah menjabat sebagai ketua ICMI, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, serta ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Ia juga telah menulis buku-buku mengenai ekonomi dan agama Islam.

Pria kelahiran Solo, 20 April 1942 ini merupakan anak sulung dari delapan bersaudara, putra dari pasangan Muhammad Zuhdi Rahardjo dan Muthmainnah. Ia tumbuh dan besar di lingkungan sederhana.
Sejak kecil, pemilik nama lengkap Muhammad Dawam Rahardjo ini telah menyerap berbagai ilmu pengetahuan terutama tentang agama Islam, di antaranya yaitu belajar bahasa Arab, mengaji, menghapal surat-surat Alquran, mengenal tafsir, fikih, hingga hadist.
Dawam mengawali pendidikannya di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah yang setara dengan TK. Berikutnya, ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Ketika masuk Sekolah Rakyat Logi Wetan, Dawam langsung duduk di kelas 2. Lalu, di sore harinya dia menimba ilmu agama di Madrasah Al-Islam.
Lulus dari pendidikan dasar, Dawam melanjutkan sekolahnya ke SMP 1 Solo. Setelah lulus pada tahun 1957, ia melanjutkan bersekolah di SMA Manahan dan lulus pada tahun 1961.
Sejak remaja, Dawam sudah menyukai dunia tulis-menulis. Meski masih muda, dirinya bahkan pernah menerjemahkan puisi bahasa Inggris ke Indonesia. Selain itu, Dawam juga suka menulis syair dan cerita pendek.  
Setelah tamat sekolah, Dawam mendapat kesempatan mengikuti American Field Service (AFS) dan terpilih sebagai salah satu siswa yang dapat bersekolah di Borach High School, Idaho, Amerika Serikat selama satu tahun. Sekembalinya ia dari Negeri Paman Sam, Dawam melanjutkan pendidikan akademiknya di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. 

Perjalanan akademiknya kian melaju. Saat usianya menginjak 51 tahun, Dawam dinobatkan sebagai Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Malang. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai Rektor Universitas 45 Bekasi. Tak hanya pendidikannya yang menonjol, perjalanan kariernya pun kian meroket. Dawam pernah bekerja sebagai Staf Departemen Kredit Bank of America saat usianya 27 tahun. Dua tahun kemudian, Dawam alih profesi sebagai staf peneliti di LP3ES (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Ekonomi-Sosial). MEDIA VIVA Di samping kesibukannya dengan LSM, Dawam pun mengkaji Alquran dengan kemampuan yang telah dimilikinya. Ia pun mempelajari bermacam-macam buku tafsir. Dalam pencariannya itu, Dawam pun paham mengenai arti pluralism dan toleransi dalam kehidupan beragama yang sesungguhnya.

Mantan Ketua Tim Penasehat Presiden BJ Habibie ini pernah menelurkan beberapa judul buku, di antaranya yaitu Etika Bisnis dan Manajemen (1990), Habibienomics: Telaah Pembangunan Ekonomi (1995), Paradigma Al-Quran: Metodologi dan Kritik Sosial (2005), dan Nalar Politik Ekonomi Indonesia (2011).
Pada 30 Mei 2018, bapak berusia 76 tahun ini tutup usia di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sebelum wafat, ia memang diketahui sedang sakit. Kesehatannya telah mengalami penurunan akibat komplikasi. Indonesia kehilangan salah satu cendikiawan terbaiknya. Selamat jalan Dawam.
Karya Buku : Esai-esai Ekonomi Politik (1983), Deklarasi Mekah: Esai-esai Ekonomi Islam (1987), Etika Bisnis dan Manajemen (1990), Habibienomics: Telaah Pembangunan Ekonomi (1995), Paradigma Al-Quran: Metodologi dan Kritik Sosial (2005), Nalar Politik Ekonomi Indonesia (2011).

Cendekiawan
Pengertian tentang cendekiawan, dilingkungan kaum muslim di indonesia masih mengandung tanda tanya, terutama dalam kaitannya dengan pengertian tentang ulama. Dari segi etimologis, ulama dapat ditejermahkan dengan cendekiawan. Sebab, istilah "ulama" berasal dari kata ilm atau ilmu, sedangkan orang yang memiliki ilmu disebut sebagai alim. Tetapi kata itu sudah menjadi salah kaprah, sehingga istilah ulama diartikan sebagai seseorang yang memiliki ilmu (tunggal), sedangkan jamaknya menjadi alim-ulama.
Sungguh demikian, istilah ulama sudah berkembang sebagai pengertian khusus, yaitu mereka yang memiliki ilmu yang cukup tinggi di bidang agama dan di lain pihak menjalankan akhlak sesuai dengan ilmu agama yang diajarkan kepadanya. Sehingga dengan demikian ia sendiri dapat menjadi teladan atau panutan masyarakat. Apabila seorang ulama melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikatakan atau tidak konsekuen menjalankan apa yang dikatakannya (Q.S, Al-Shaff: 3), maka masyarakat akan menggugurkan pengakuannya atas orang tersebut.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa, "ulama itu adalah pewaris (risalah) nabi", yang diwarisi oleh ulama itu bukanlah statusnya, melainkan risalahnya untuk dapat menjalankannya dalam meneruskan risalah nabi, Ulama berusaha untuk mengacu kepada empat ciri-ciri nabi :
1. Shiddiq (jujur dan benar, yaitu berusaha menegakan kebenaran dengan keyakinan yang teguh).
2. Amanah (dapat dipercaya dan di andalkan dalam mengemban risalah).
3. Tabliqh (melakukan komunikasi dan menyampaikan pesan-pesan agama kepada manusia).
4. Fathanah (cerdas, cendekia, dan bijaksana dalam menghadapi persoalan dan situasi yang di hadapi). (Dawam Rahardjo, Hal:73-74).
Ciri-ciri di atas memang juga menjadi ciri kepemimpinan, sebab nabi juga seorang pemimpin masyarakat. Oleh karena itu, seorang ulama dapat berkembang menjadi seorang pemimpin. Tetapi tugas utama ulama memang mempelajari dan mendalami ilmu agama (tafaqquh Fi-din), (Q,S At-Taubah :129), dan kemudian menyampaikannya kepada masyarakat, baik dengan cara tabliqh (biasanya diskusi), dengan mengajar atau dengan langsung merealisasikannya dalam proses perkembangan masyarakat, seperti yang juga dijalankan oleh nabi. Tetapi kewibawaan seorang ulama dapat menjadi modal untuk menjadi pemimpin, termasuk pemimpin negara seperti yang dilakukan oleh Empat khulafaur Rasyidin sesudah Nabi SAW. (Dalam buku  Dawan Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa,  Hal:76).

Istilah Ulul-Albab disebut dalam al-Qur'an sebanyak lima belas kali dalam sepuluh surah dan dalam konteks yang berbeda-beda. Dari keseluruhan ayat itu dapat ditarik suatu benang merah bahwa Ulul Albab adalah orang yang mampu mengambil kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat Allah dalam al-qur'an, gejala kemasyarakatan, peristiwa sejarah dan fenomena alam. 
Dalam surah Al-Baqarah ayat:26 dikatakan: Dalam ayat tersebut Ulul Albab adalah seorang dengan kualitas tertentu. Kata albab, merupakan kata jamak dari kata al-lub, yang artinya, otak, pikiran, intelek. Jadi, seorang ulul-albab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun intesitasnya. Dengan perkataan lain, ulul albab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik cendekia atau seorang filosof yang berpikir mendalam.
Dalam surah Ali-Imran ayat: 7, disebut juga kata al-rasihun fil-al ilm, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya. Seorang yang mendalam ilmunya pastilah orang yang belajar banyak dan berpikir mendalam, mencari pengertian yang paling hakiki atau inti yang hanya dapat dilakukan apabila seseorang itu berpikir secara radikal, keakar-akarnya, dari aktivitas seperti itulah seseorang akan sampai pada kebijaksanaan (wisdom).
Dalam kamus Al-qur'an nya, Nazmur Syamsu mengartikan Ulul-Albab sebagai penyelidik atau investigator. Barangkali peneliti juga dekat pengertiannya dengan apa yang dimaksudkannya. Objek penelitian menurut Al-Qur'an ada beberapa, yaitu: 1. sejarah atau peristiwa-peristiwa masa lampau, tentang naik dan jatuhnya peradaban atau peranan tokoh-tokoh sejarah (Q,S Ibrahim:52, Yusuf:12, Al-Ma'un:54). 2. gejala-gejala kemsyarakat, terutama yang menyangkut soal-soal hukum dan keadilan (Al-Baqarah:179) atau sehubungan antara manusia dengan tuhan dan antara manusia dengan manusia. 3. gejala-gejala kebudayaan, membedakan kegiatan mana yang mengarah kepada kebaikan (iman dan amal shaleh). 4. gejala-gejala yang menyangkut masalah ibadah mahdah. 5. gejala alam semesta ciptaan Allah yang memiliki hukum-hukum yang pasti. (Hal:76-78).

Dimensi lain yang menyangkut ciri-ciri Ulul-Albab adalah yang dilukiskan dalam surah Ali-Imran ayat 190-191: Dari ayat di atas, objek sasaran para ulul albab yang didefinisikan sebagai memiliki dua ciri pokok:
Pertama, melakukan zikir, yaitu melakukan kontemplasi yang mengarah kepada Allah, dan Kedua, menjadikan segala ciptaan Allah sebagai objek berfikir. Dari situlah seorang ulul-albab akan dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa segala yang di ciptakan oleh Allah itu bukan sesuatu yang sia-sia yaitu kacau dan absurd (bathil), Tetapi mengandung fungsi tertentu dalam kehidupan manusia.
Al-Jatsiyah ayat 12-13: Memberikan keterangan kepada ulul-albab, yaitu kelompok (qaum) yang berfikir atau melakukan refleksi (yatafakarun, to reflect) dan kelompok yang menggunakan penalaran (ya'qilun).
Surah Al-Fathir ayat 27-28, ada 3 dimensi ciri-ciri ulul albab: 1. dimensi ontologis, manusia telah menarik jarak dari alam dan semua yang ada, termasuk dirinya sendiri, masyarakat dan sejarah. 2. dimensi fungsional, yang bertolak dari pengertian bahwa seluruh alam semsta itu ciptakan Allah dengan tujuan dan merupakan suatu yang haq dan bukannya bathil atau kacau, melainkan berfungsi dalam kehidupan manusia. 3. dimensi aksiologis atau etis, kehidupan manusia dari segi baik atau buruk, benar atau salah, agar kehidupan manusia dapat berkembang lebih maju sejalan dengan harkat manusia, ciptaan Allah swt.(Dawam Rahardjo, Hal:78-80).
Kesimpulan
Dengan demikian, Dawam Rahardjo adalah salah satu cendekiawan muslim yang sangat berpengaruh dan berkontribusi dalam mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan islam dalam berbagai bidang, seperti: ekonomi, politik, tafsir-tafsir ilmu al-qur'an, dll. Seperti salah satu karya beliau adalah dalam buku, (Dawan Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa). Dalam buku tersebut membahas mengenai arti dan peran Ulul Albab.
Walaupun hingga sekarang masih ada perdebatan mengenai arti dari kata ulul albab. tetapi kita bisa melihat dan menelaah konsep ulul albab, yang ditulis dan diwariskan oleh Dawam Rhardjo dalam bukunya. Istilah ulama sudah berkembang sebagai pengertian khusus, yaitu mereka yang memiliki ilmu yang cukup tinggi di bidang agama dan di lain pihak menjalankan akhlak sesuai dengan ilmu agama yang diajarkan kepadanya. Sehingga dengan demikian ia sendiri dapat menjadi teladan atau panutan masyarakat.
Dari segi etimologis, ulama dapat ditejermahkan dengan cendekiawan. Sebab, istilah "ulama" berasal dari kata ilm atau ilmu, sedangkan orang yang memiliki ilmu disebut sebagai alim. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa, "ulama itu adalah pewaris (risalah) nabi", yang diwarisi oleh ulama itu bukanlah statusnya, melainkan risalahnya untuk dapat menjalankannya dalam meneruskan risalah nabi, Ulama berusaha untuk mengacu kepada empat ciri-ciri nabi.
Dalam surah Al-Baqarah ayat:26 dikatakan: Dalam ayat tersebut Ulul Albab adalah seorang dengan kualitas tertentu. Kata albab, merupakan kata jamak dari kata al-lub, yang artinya, otak, pikiran, intelek. Jadi, seorang ulul-albab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun intesitasnya. Dengan perkataan lain, ulul albab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik cendekia atau seorang filosof yang berpikir mendalam.
Jadi, Ulul Albab atau Cendekiawan adalah seseorang yang selalu meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan dan kejernihan akhlak mulia. selalu berpikir, merenung atau menelaah setiap peristiwa yang terjadi pada alam semesta, flora-fauna, dan kondisi masyarakat sekitar. Seorang ulul-albab atau cendekiawan, tidak hanya sebatas berpikir mengenai peristiwa alam semesta dan masyarakat. Tetapi menjadikan ilmu pengetahuan yang didapatkannya itu untuk mendekatkan diri, tunduk dan patuh atas segala perintah dan larangan Allah swt, dan menjadi pemimpin teladan, memberi pencerahan dan manfaat, dan menampilkan kecerdasan akal fikiran dan kejernihan akhlak mulia ketika berinteraksi dengan sesama umat manusia.

*)Penulis adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Ekonomi Syariah (2015), Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang 30 Mei 2018, 13:30 WIB.





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)