*Menghidupkan Cahaya Ilmu dan Akhlak Mulia
Cahaya
yang diciptakan oleh Allah swt seperti matahari, bulan, bintang itu bersifat rahmatan lil alamin. Artinya adalah
bahwa setiap ciptaan Allah swt diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Diberikan
kepada siapa saja didunia ini tanpa memandang agama, suku, ras, budaya daerah,
dan bahkan cahaya Allah swt itu diberikan kepada orang-orang yang tidak
percaya, membangkan atau menolak kepada risalah nabi dan kebenaran al-qur’an.
Maka,
begitu cahaya Allah swt menyinari bumi, dan cahaya alam semesta ini, semua umat
manusia bisa menikmatinya. Akan tetapi, cahaya Allah yang diberikan kepada hati
manusia disebut hidayah itu adalah hanya diberikan kepada orang-orang yang
dikehendaki oleh Allah swt, dan juga Allah swt memberikan cahaya kepada setiap
individu yang siap menerima cahaya-nya. Dan orang orang yang didalam hatinya
menginginkan kebenaran sejati, petunjuk hidayah Allah swt. Jadi untuk
memperoleh cahaya Allah swt, yaitu dalam setiap diri manusia harus ada kemauan
untuk mendapatkan cahaya dari Allah. Seperti dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat:
35.
“Allah swt adalah
cahaya atau pemberi cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-nya
bagaikan sebuah ceruk, di dalamnya terdapat sebuah pelita atau lampu. Pelita
itu tertutup di dalam kaca. Kaca itu seperti bintang yang gemerlapan, yang
dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh di
Timur maupun di Barat yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya–nya siapa
saja yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah maha mengetahui tas segala sesuatu”.
“ceruk” adalah wadah
tempat pelita tersebut bernaung , seperti halnya, dada merupakan tempat
bernaungnya hati. Sebelum listrik menerangi, pelita itu ditempatkan diceruk,
yang didesain untuk memancarkan cahaya pelita tersebut ke seluruh ruangan.
“kaca” melindungi cahay
tersebut agar tidak terpadamkan oleh angin yang berhembus tiba-tiba. Ia
bagaikan kepribadian, yang meredupkan cahaya sedikit demi sedikit, saat ia
dibersihkan dan disucikan. Kaca tidak memiliki cahayanya sendiri, namun ketika
dimasuki cahaya, ia bersinar bagaikan bintang yang terang benderang.
“pelita” dan cahaya
murni itu merepresentasikan percikan ilahiah di dalam hati kita. Mereka yang
menyingkap tabir cahaya di dalam dirinya akan mampu menyalakkan hati-hati yang
lainnya. Seluruh cahaya adalah pantulan dari sumber cahaya yang satu satunya
yakni cahaya ilahi Allah swt.
“pohon zaitun” adalah
yang tidak begitu mengagumkan untuk dilihat, bentuknya relatif kecil, daunya
berwarna coklat kehijau-hijauan, namun buah zaitun adalah makanan yang
bermanfaat dan dijadikan minyak yang bermutu baik. Buah zaitun, sumber
minyaknya, bersifat universal, seperti halnya cahaya Allah swt yang tidak
berada pada lokasi terentu, serta kebenaran ilahiah yang tidak dimiliki hanya
oleh sekelompok masyarakat tertentu. Minyak zaitun seperti kebenaran spiritual,
yang menyinari akal fikiran dan hati nurani sebelum kita secara sadar tersentuh
olehnya.
Jadi,
cahaya-nya Allah swt di limpahkan dan diberikan pada manusia sebagai rahmat
untuk umat manusia, maka cahaya Allah swt adalah utusan pada semua manusia yang
hidup di muka bumi. Cahaya-nya adalah petunjuk dan hidayah yang diberikan
kepada orang yang selalu tunduk dan patuh pada perintah dan larangan Allah swt,
dan selalu konsisten meningkatkan wawasan ilmu, menjernihkan akhlak baik, dan
berinteraksi dengan tolong-menolong antar sesama manusia.
Maka,
kalau kita ingin mendapatkan cahaya, rahmat, hidayat, dan kasih sayang Allah
swt. Yaitu ketika kita mendengar dan melihat nama Nabi Muhammad saw, ucapkanlah
shalawat kepadanya dalam hati. Nabi bersabda,”sesungguhnya Allah menciptakan
makhluknya dalam kegelapan, lalu dileparkan dan dilimpahkan kepadanya suatu
cahaya, maka barangsiapa yang mendapat cahaya itu, berarti dia telah mendapat
petunjuk”.
Untuk
itu, kita tidak hanya bersyukur menikmati cahaya matahari, bulan, bintang. Tetapi
kita juga harus meraih cahaya Allah swt yang lainnya itu seperti cahaya rahmat,
hidayah, dan kasih sayangnya. Karena dengan cahaya itu yang selalu menyinari
jiwa raga kita dalam kondisi gelap maupun terang.
Karena
itu, tugas kita sebagai manusia adalah, bagaimana kita bisa meraih cahaya Allah
swt itu agar selalu menyinari hati dan jiwa raga kita semua. Cahaya yang kita
harapkan dari Allah swt itu adalah cahaya yang terang benderang bukan cahaya
yang redup dan remang-remang. Kalau di ibaratkan sebuah lampu, bukan jenis
lampu yang 5 atau 10 watt, melainkan jenis lampu yang 100-500 watt. Untuk itu,
tugas kita sebagai manusia adalah terus berusaha
memperoleh cahaya-nya walaupun susah dan lama, atau Allah belum mengabulkan
cahaya ilmu pengetahuan dan akhlak baik tersebut.
Orang yang hatinya
tidak pernah memperoleh rahmat dan hidayah atau cahaya Allah swt,hidupnya
sedih, gelisah, cemas, keras hati, keji dan mudah terombang ambing dalam
menghadapi setipa ujian dan cobaan hidup yang menimpanya. pintu hati nuraninya
telah keras membatu, gelap dan kotor.
Al-Ghazali dalam salah
satu tulisannya, ia pernah mengatakan bahwa,”akal lebih berhak disebut sebagai
cahaya daripada indra”. Cahaya di sini tentu sajadipandang sebagai sesuatu yang
terang pada dirinya sendiri dan dapat menyebabkan sesuatu yang gelap atau
remang-remang pada dirinya jadi terang dan terlihat jelas. Lebih lanjut al
ghazali mengatakan, akal lebih patut disebut disebut sebagai cahaya daripada
indra. Ini bisa dilihat misalnya pada Bulan. ketika indra hanya bisa melihat,
dalam suatu saat, separuh saja dari bulan, akal dapat menyempurnakannya,
sehingga ia dapat menyimpulkan bahwa bulan berbentuk bola yang utuh, sekalipun
indra tidak pernah dapat melihat paru yang lainnya. ( Dalam Buku, Menyelami Lubuk Tasawuf, Mulyadhi Kartanegara, Hal 87).
Dalam
kehidupan mistik, tidak jarang kita menemukan simbolisme cahaya. Bahkan dalam
mistik jawa (kejawen) sering kita mendengar orang yang mendapat “wangsit”
digambarkan sebaga yang kejatuhan cahaya dari langit. Sementara itu, nabi kita
juga mengatakan bahwa ilmu itu cahaya.
Pada hakikatnya, orang
yang mengatakan “kejatuhan cahaya” tidak ubahnya dengan orang yang mendapatkan
ilmu dari langit. Jadi orang yang mendapat wangsit tidak jauh berbeda dengan
orang yang mendapatkan ilham, hidayah atau ilmu pengetahuan. Hal 149.
Cahaya mempunyai
karakteristik “terang pada dirinya sendiri” dan dapat “menjadikan yang lain
terang atau nampak”. Dimalan hari, alam begitu gelap gulita, namun kemunculan
matahari akan menyebabkan kegelapan malam tersebut sirna, dan digantikan oleh
kemilau terang benderang. Matahari adalah cahaya yang pada dirinya “telah
terang dan menyebabkan yang lain terang”, seperti pada kasus bulan, atau paling
tidak menjadi tampak sperti pada kasus benda benda yang ada di permukaan bumi,
yang pada dirinya adalah gelap. Maka demikian juga karakteristik ilmu, ilmu
pada hakikatnya adalah cahaya, seperti sabda sang nabi. Dan sebagai cahaya maka
ia terang pada dirinya, bisa menjadikan terang segala sesuatu yang remang
remang dan gelap gulita, karena kebodohan. Hal 150.
Kalau
tadi kita berbicara tentang ilmu yang bersifat fisik, maka hal yang serupa juga
bisa diterapkan pada ilmu ilmu yang lebih dalam dan batiniah sifatnya. Ada
syair Arab yang mengatakan, “barangsiapa yang beramal tidak dengan ilmu, maka
amalannya ditolak atau tidak diterima”. Artinya tidak membawa hasil yang
diharapkan. Hal ini bisa juga diterapkan dalam bidang apa saja, baik bidang
pernian, bisnis, beriabadah, bahkan ber-mujahadah. Melakukan itu semua tanpa
mengetahui ilmunya, ibarat bekerja ditempat yang yang gelap dan bisa
dibayangkan apa hasilnya.
Ilmu
pengetahuan yang disebut makrifat sering sekali dikaitkan dengan simbolisme
cahaya, yang disebutnya “iluminasi” yaitu pencahayaan. Datangnya cahaya dari
langit (Tuhan) kadang mudah, kadang begitu sulit. Imam al ghazali sendiir
membutuhkan lebih dari sepluh tahun untuk mendapatkan ilmuniasi tersebut.
Sebelum datangnya ilmuniasi itu, hidup al ghazali digambarkan penuh dengan
kesangsian (syakk), yang menggambarkan “ketermaraman” atau bahkan “kegelapan”
hatinya. Hal 151.
Tetapi sekali
“ilmuniasi” atau disebut juga “mukasyafah” disibakkan ke dalam hatinya, tiba
tiba ia menjadi terang benderang. Maka segala keasangsian yang ditimbulkan oleh
ketidaktahuan juga hilang seketika. Manakala jalan menuju kebenaran terbentang
luas dan terang dihadapannya, cahaya yang diperolehnya begitu terang sehingga
ia juga mampu menerangi hati orang-orang lain yang temaram, beratus ratus tahun
setelah ia meninggalkan duani fana ini. Jadi bukan hanya terang pada dirinya
sendiritetapi bisa menerangi orang lain melalui ilmu ilmunya, sebuah
karakteristik yang persisi sama dengan yang dimilki oleh cahaya. Hal 152.
Hati
manusia bisa kita ibaratkan sebagai “jendela kaca”, sebagaimana kita telah
mengibaratkan ilmu dengan cahaya. Ketika seorang telah memasang jendela kaca di
langit langit kamarnya, maka orang tersebut mengharapkan memperoleh cahaya
matahari agar ruangan-nya bisa terang sekalipun tidak ada lampu di dalamnya,
atau setidaknya ketika semua lampu yang ada di kamar tersebut dipadamkan untuk
dihemat. 154.
Maka
demikian juga halnya hati (qalb) manusia, ia berkemampuan untuk menerima
limpahan cahaya samawi berupa ilmu laduni yang bisa langsung menembus lubuk
hatinya yang terdalam. Tetapi walaupun pada dasarnya tiap hati manusia
berkemampuan (berpotensi) untuk menangkap cahaya samawi ini, tetapi yang betul
betul secar aktual mampu menerimanya tidaklah banyak, melainkan dari sekian
juta hanya segelintir saja.
Sebagaimana
jendela kaca rumah kita baru mampu mentransmisikan cahaya matahari untuk masuk
ke jantung rumah kita, dalam keadaan bersih. Maka demikian juga jendela kaca
hati kita baru mampu mentrasmisiskan cahaya amwi kalau ia telah betul-betul
bersih dari kotoran jiwa. hal, 156.
Rumah yang gelap gulita
mewakili kekosongan hati, yang menghalangi seluruh cahaya. Lampu adalah cahaya
akal, ketika akal meningkat dan digunakan pada pengetahuan tindakan lahiriah,
ia bagaikan kebangkitan rembulan, melalui penglihatan yang diperoleh melalui
petunjuk hidayah Allah swt, cahaya tersebut tidak pernah padam dan bahkan
bersinar semakin terang benderang.
*)Penulis adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah 2015, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, 21 Februari 2019, 21:25 WIB.
Komentar
Posting Komentar