Hakikat Pendidikan: Antara Ilmu dan Moralitas
Apa yang terlintas
dipikiran kita, ketika mendengar istilah pendidikan??.Secara umum, ada yang mengingat gedung kampus, gedung sekolah, sistem pendidikan. Sebagian lagi, ada yang mengingat keindahan arsitektur gedung, keindahan taman-taman bermain. Dan
sebagian lagi, ada yang sudah sampai membahas mengenai esensi atau hakikat dari
pendidikan itu sendiri yaitu antara ilmu pengetahuan dan moral atau akhlak
mulia. Dari pandangan ketiga tipe manusia tersebut tidak ada yang salah. Dan
mungkin benar semuanya.
Bung Hatta Wakil Presiden Ke-1 RI dan Pahlawan Nasional, mengatakan bahwa, “Ilmu hanya maju ditangan orang yang punya karakter, yang tahu menghargai pendapat orang lain dengan berani mempertahankan pendirian sendiri. Orang yang mempunyai karakter tak segan mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertentangan dengan pendapat umum. Hanya dengan pendirian kritis itu dapat ilmu dimajukan”.(Bung Hatta, Hal:61-62).
Arti
Pendidikan
Orang-orang Yunani, lebih
kurang 600 tahun sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha
membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama
“membantu” dan kedua “manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi
manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki
sifat kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena
itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik
ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dapat dicapai dan agar program
dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah
jelas.
Seperti apa kriteria manusia
yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh
filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani lama itu menentukkan
tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam
mengedalikan diri, kedua, cinta tanah air, dan ketiga berpengetahuan. (Ahmad
Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, Hal:33).
Ilmu
dan Moral
Pendidikan merupakan
hal yang amat penting dalam komunitas besar suatu negara, di mana pendidikan
merupakan ujung tombak untuk menciptakan perkembangan dan kemajuan negara itu
sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa generasi muda setiap negara membutuhkan
peran pendidikan yang besar. Tanpanya, generasi muda akan layu dan tertinggal
sehingga ini akan mempengaruhi kualitas maju atau tidaknya negara itu, karena
generasi muda adalah tulang punggung negara.
Definisi Pendididkan menurut
UU.No.20 tahun 2003, menyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Dari pengertian
pendidikan di atas. Ada 3 kata kunci yang harus disimpulkan adalah. 1). usaha
sadar dan terencana. 2). suasana belajar yang dapat mengembangkan potensi
dirinya. 3). memiliki spiritualitas, akhlak mulia dan keterampilan. Jenis
pendidikan ada 3.Yaitu:1). Pendidikan formal. 2). Pendidikan non-formal. 3). Pendidikan
informal.
Demikian pula halnya,
karena pendidikan dinilai sangat penting, tentu saja pendidikan tidak akan
berjalan semestinya tanpa sebuah tujuan. Di sinilah pentingnya tujuan
pendidikan, dan tentu juga tujuan tersebut harus matang, jelas, dan
direalisasikan secara nyata. Jika sudah demikian, maka peluang untuk melahirkan
generasi muda yang cerdas, tangguh, dan bermoral juga akan semakin besar.
Tujuan Pendidikan Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional pasal 3, mengatakan bahwa, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Dalam Pasal 31 ayat 3, Undang-Undang dalam versi amandemen juga menuturkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Hal ini dikuatkan pula dalam pasal 31 ayat 5, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia".
Tujuan Pendidikan Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional pasal 3, mengatakan bahwa, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Dalam Pasal 31 ayat 3, Undang-Undang dalam versi amandemen juga menuturkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Hal ini dikuatkan pula dalam pasal 31 ayat 5, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia".
Revolusi
Moralitas
Dalam pendidikan harus
mendahulukan ilmu moral/akhlak. Baru kemudian mengajarkan dan mengamalkan ilmu
pengetahuan yang berkaitan sesuai dengan minat atau konsentrasi jurusan masing-masing.
Orang yang bermoral
pasti orang berilmu atau berpendidikan. Sedangkan orang berilmu atau
berpendidikan belum tentu bermoral.
Moral atau akhlak
adalah diibaratkan bibit unggul. Kalau kita mempunyai bibit unggul pasti ketika
kita menanamnya suatu saat nanti ketika musim panen kita mendapatkan hasil yang
berkualitas. Dengan bibit unggul tersebut dapat memberikan kesuburan atau
manfaat bagi diri sendiri dan lingkungan masyarakat.
Mental berakar dari
bahasa latin, yaitu mens yang
menunjuk pada kemampuan berpikir, karena itu kita mengenal istilah mental
health, mental hospital,dll. Moral juga berasal dari bahasa latin mores, yaitu adat istiadat atau pedoman
perilaku. Meski keduanya mengacu pada hal yang sama. Secara sosiologis kedua
konsep tersebut memiliki sikap yang berbeda-beda.
Mental biasanya
ditujukan pada karakter atau kualitas cara berpikir, bersikap, dan berperilaku
yang bersifat profan dan universal. Yaitu bisa berlaku untuk semua orang, semua
golongan, misal, mental rajin dan malas, sopan, dan jujur,dll.
Moralitas, standar
penekanannya bukan sekedar pada penilaian baik dan buruk, melainkan punya
konotasi dosa dan tidak dosa (halal dan haram). Jadi moral sering digunakan
dalam ranah kepercayaan dan keagamaan, misal cara berpakaian, cara
berperilaku,dll.
Maka, konsekuensi
pelanggaraan moral dianggap dosa. Sedangkan pelanggaran mental tidak dianggap
sebagai dosa.
Bung Hatta Wakil Presiden Ke-1 RI dan Pahlawan Nasional, mengatakan bahwa, “Ilmu hanya maju ditangan orang yang punya karakter, yang tahu menghargai pendapat orang lain dengan berani mempertahankan pendirian sendiri. Orang yang mempunyai karakter tak segan mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertentangan dengan pendapat umum. Hanya dengan pendirian kritis itu dapat ilmu dimajukan”.(Bung Hatta, Hal:61-62).
Lebih lanjut Hatta
mengatakan........Karakter yang terutama, bukan kecerdasan. Kecerdasan dapat
dicapai dengan jalan studi oleh orang yang
mempunyai karakter. Karena karakter itulah pula ilmu dapat berjalan terus.
Orang yang mempunyai karakter berani menanggung jawab, dan berani pula menolak
pertanggung jawab tentang hal yang tidak cocok dengan keyakinannya sendiri.
Dan oleh karena itu ia berani pula menempuh perjuangan dan menentang tradisi,
berani mempunyai paham sendiri, dan berbuat apa yang dikatakannya dengan mulut.
Orang yang mempunyai karakter kuat kepercayaannya akan dirinya sendiri.(Bung
Hatta, Hal:62-63).
Selanjutnya, Bung Hatta
mengatakan, ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya,
akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Pangkal
segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan
salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah pada
perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter ini. Karena, seperti
yang saya katakan tadi, ilmu wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.(Bung
Hatta, Hal:444).
Dalam memelihara dan
memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan
dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, Kecerdasan dapat di capai
dengan jalan studi oleh orang yang mempunyai karakter. Karena karakter itu pula
ilmu dapat berjalan terus. Sarjana yang tak punya karakter mudah saja
melepaskan pendapatnya karena desakan yang memaksa, mau saja menerima suatu
teori yang bertentangan dengan keyakinan ilmunya, karena di paksakan dari
atas......................................Orang yang mempunyai karakter berani
bertanggung jawab atas pendapatnya, dan berani pula menolak pertanggungjawab
tentang sesuatu yang tidak cocok dengan keyakinannya sendiri. (Kemerdekaan
dan Demokrasi, Karya Lengkap Bung Hattta, Hal:445).
*)Penulis
adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, 11 Februari 2019. 22:45 WIB.
Komentar
Posting Komentar