*Agama Sebagai Kompas Kehidupan 2
Agama Sebagai Kompas Kehidupan II
Seorang
yang ingin terjatuh ketika berjalan di jalan raya atau sedang mengendarai
kendaraan? Tidak ada. Semuanya ingin selamat. Tetapi supaya jangan jatuh, tentu
ada aturan yang harus dipakai dan hukum yang harus dipatuhi. Dinegeri kita,
misalnya, disuruh orang berjalan di sebelah kiri, dibagi tempat jalan
kereta-angin atau sepeda, mobil atau orang yang berjalan kaki. Di tengah-tengah
simpan berdiri polisi yang menjaga keamanan aturan perjalanan itu, mendahulukan
yang dahulu, mengemudikan yang kemudian. Supaya jangan berselisih. Dan diadakan
pula peraturan tempat kembali, seketika terjadi pelanggaran yang tidak
diingini.[1]
Demikian
pulalah kita dalam perjalanan hidup. Tidak ada yang ingin rusak dan binasa,
semua ingin selamat, ingin sehat. Tetapi supaya keinginan itu tercapai, dan
tujuan perjalanan lurus, tidak terkencong, diadakanlah aturan yang mesti
diingat dan diperhatikan oleh semua. Tempat kembali apabilka terjadi
perselisihan. Itulah dia syariat yang diturunkan Allah kepada bangsa manusia
dengan perantaraan nabi nabi-nya. Keinginan
manusia kepada syariat lebih besar dari keinginan meraka kepada tabib. Benar
bahwa sakit dan senang tidak akan bercerai dari badan, tetapi seisi rumah mesti
dijaga kesehatannya, mesti meminta bicara kepada dokter yang pandai. Tetapi
janganlah lupa bahwa tabib yang mahir kebanyakan hanya di dalam kota-kota
besar.[2]
Apabila orang
tidak makan dan tidak minum terhentilah dia bernafas dan lemahlah tubuhnya.
Tetapi apabila orang tidak memegang syariat rusaklah akal dan budinya dan
binasalah hidup yang sejati yang menjadi tujuan hidup bernafas. Rusak badan adalah
suatu kebinasaan. Apabila badan rusak nyawa pun bakal melayang.
Kematian lantaran penceraian badan dengan nyawa belum tentu merupakan bahaya. Karena banyak orang sakit ingin supaya dia lekas mati. Tetapi apabila tidak menjunjung syariat meskipun badan hidup apalah artinya, kalau tidak tercapai hidup sejati tak punya tujuan hidup. Banyak makhluk yang masih bernafas, tetapi tidak terhitung hidup. Dan banyak orang yang telah wafat, tetapi dia masih laksana hidup.Sebab itu, sebanyak ini keperluan hidup di dunia, yang terutama harus diketahui oleh manusia ialah syariat yang dibawa oleh nabi, yang telah beliau rentangkan dan ajarkan. Karena dengan demikianlah akan tercapai keselamatan hidup yang fana dan baka, hidup didunia dan akhirat. Syariat laksana jembatan. Dengan melaluinyalah kita sampai ke sebarang.[3]
Kematian lantaran penceraian badan dengan nyawa belum tentu merupakan bahaya. Karena banyak orang sakit ingin supaya dia lekas mati. Tetapi apabila tidak menjunjung syariat meskipun badan hidup apalah artinya, kalau tidak tercapai hidup sejati tak punya tujuan hidup. Banyak makhluk yang masih bernafas, tetapi tidak terhitung hidup. Dan banyak orang yang telah wafat, tetapi dia masih laksana hidup.Sebab itu, sebanyak ini keperluan hidup di dunia, yang terutama harus diketahui oleh manusia ialah syariat yang dibawa oleh nabi, yang telah beliau rentangkan dan ajarkan. Karena dengan demikianlah akan tercapai keselamatan hidup yang fana dan baka, hidup didunia dan akhirat. Syariat laksana jembatan. Dengan melaluinyalah kita sampai ke sebarang.[3]
Makna Kemanusiaan
Manusia memang
makhluk berwajah ganda bahkan berwajah banyak atau multi dimensional. Ali Syariati, Pemikir dan Sosiolog muslim dari Iran, memposisikan manusia sebagai makhluk
tuhan di anatara malaikat yang serba suci atau baik dengan iblis yang serba
kotor atau buruk, dan distulah letak ketegangan kreatif yang bersifat abadi
antara tuntutan untuk berbuat baik atau buruk dalam manusia sepanjang hayatnya.[4]
Agar manusia hidup
tak salah kaprah dan berjalan sekehendaknya tanpa kompas petunjuk hidup, maka
agama mengajarkan arti (makna, hakikat) dan fungsi (misi dan tugas mulia) serta
arah dan tujuan hidup. Agama mengjarkan kehidupan yang suci, yang benar, yang
pantas, dan nilai nilai adilihung lainnya dalam kehidupan umat manusia. Agama
juga mengajarkan bagaimana menghindarkan atau menyingkirkan hal al yang nista,
yang jahat, yang buruk, yang keji, dan hal hal mungkar lainnya dalam kehidupan
manusia. Sehingga hidup manusia menjadi beradab, berakal-budi, dan berbudaya
mulia sebagaimana layaknya perangai makhluk tuhan yang unggul, bukan manusia
yang rendah nista. Jika ilmu pengetahuan mengajarkan kebenaran rasional dan
empirik, ketika mengerjakan susila, dan seni mengajarkan keindahan, maka agama
selain mententuh dimensi dimensi tersebut, hal yang terpenting mengajarkan
makna dan tujuan hidup yang hakiki.
Bagi para
pemeluknya yang berusaha taat, agama adalah pedoman kehidupan yang sangat vital
dan angat menentukan. Agama adalah acuan bagi seluruh tindakan hidupnya, lebih
lebih menghadapi kritis. Agama
meminjam pendapat berger adalah kanopi suci (sacred
conopy), yakni sebagai langit suci pelindung bagi kehidupan setiap manusia.
Bagi umatnya yang taat, agama bukanlah seperti pakaian yang berfungsi sekedar
sebagai penutup aurat dan hiasan, lantas dengan mudah dilepas dan diganti
dengan yang lain. Agama adalah totalitas kehidupan yang sangkral, mendalam, dan
memandu serta menentukan arah kehidupan.[5]
Penutup
Penutup
Dunia modern yang
mengukir kisah sukses secara materi dan karya ilmu pengetahuan serta teknologi,
agaknya tidak cukup memberikan bekal hidup yang kokoh bagi maniusia. Sehingga
banyak orang modern tersesat dalam kehidupan dan kemodernannya. Benar jika John
Naisbitt Dan Patricia Aburdene menyatakan bahwa,
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengatakan kepada kita tentang apa arti
hidup. Ungkapan penuh makna itu dikemukakan ketika mengulas ”kebangkitan
agama di milenium ketiga” dalam Karya
Spektakulernya Megatrens 2000. Kedua Futuris kenamaan itu tentu tidak sedang
menafikan peran iptek bagi kehidupan. Bahkan disadari betapa spektakulernya
kemajuan peradaban umat manusia modern saat ini karena peran iptek. Agama dikedepankan
sebagai salah satu institusi yang dapat menguak rahasia terdalam dan sarat
misteri dari kehidupan umat manusia itu. Kendati, agama yang dimaksudkan bukan
kelembagaannya, tetapi lebih pada dimensi spiritualitas keberagamaan. Dalam kehidupan
modern, menurut Sosiolog Humanistik Peter.L.Berger (1991 :41), agama berfungsi
sebagai kanopi suci (the sacred canopy)
dari chaos. Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan. Agama
sebagai penyiram panasnya kehidupan, yang dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dengan
agama, manusia menjadi memliki rasa damai, tempat bergantung, bahagia, dan
memiliki ketenteraman hidup. Agama dapat melindungi manusia dari chaos, dari
ketidakberartian hidup, dari situasi hidup tanpa arti. Sedangkan chaos, tumbuh
subur karena kehidupan modern terlampau rasional, dan sekuler.
*)Penulis adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program
Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, Hari Senin,
04 Maret 2109, Kedai Barongsari Kalimetro, 11:30 WIB.
Komentar
Posting Komentar