Pembaharuan Pemikiran Muhammadiyah, Pendekatan Kesejarahan dan Kebudayaan.
ESSAY
Oleh: Fitratul Akbar
Hari Minggu, 29 Juli 2019,
Rumah Singgah Syihabuddin, Kota Malang Jawa Timur.
PENGANTAR
Umumnya masyarakat
ketika melihat dan mendengar istilah sejarah kerapkali, Dalam kehidupan
sehari-hari, di Universitas, Sekolah-sekolah,
Kedai kopi, Medsos, dan
lain-lain muncul ungkapan klise seperti, “Masa lalu biarlah masa lalu atau yang
lalu biarlah berlalu, yang sudah terjadi biarlah terjadi untuk apa di kenang
lagi”. Sebagian ada menghubungkan kata sejarah dengan suatu ingatan peristiwa,
tanggal, statistik, dan nama orang-orang. Sementara yang lain menghubungkan
dengan sesuatu yang antik dan tua. Ada pula yang menghubungkan dengan sesuatu
yang membosankan, sesuatu yang tidak hidup, dan kepingan suatu peninggalan. Mungkin
persepsi atau memori dari ketiga kategori manusia di atas ada benarnya juga, tetapi tidak semua
peristiwa yang terjadi masa lalu dilupakan semua apa yang terjadi. Karena
setiap dibalik peristiwa sejarah ada hikmah atau pelajaran yang bisa di ambil,
dengan peristiwa di masa lalu masyarakat lebih mudah menghadapi peristiwa yang serupa, sehingga dapat lebih
mudah menjalani hari yang akan datang dengan baik dan sempurna.
Hingga saat
ini, ada sebagian warga masyarakat Indoensia yang beranggapan bahwa dengan
mengingat sejarah hanya membuat hidup kita statis, terpasung, terlena, dalam
menghadapi masa depan. Tentu saja, ada yang memandang sejarah dengan cara yang
lain. mereka mempertimbangkan sejarah sebagai sesuatu yang patut dihargai. Hal
ini, banyak di wujudkan dalam nilai-nilai yang menghargai nilai-nilai masa
lampau, sebab menurut mereka masa lampau membuat persiapan untuk masa
sekarang dan masa depan.
Seperti Kuntowijoyo(2001:136)[1] mengatakan bahwa, Sejarah
adalah kontinuitas
dan diskontinuitas masa lalu dengan masa sekarang. Sedangkan sekarang adalah
proteksi masa depan.
Peristiwa ssjarah melibatkan elemen-elemen pembentuknya, seperti ruang, waktu,
dan aktornya. Ruang dan waktu adalah representasi dari setting sosial kultural peristiswa dan aktor adalah pelaku sejarah.
Pelaku sejarah adalah manusia sebagai makhluk rasional yang berpikir, karena
dengan kemampuan berpikir itulah setiap manusia bisa melahirkan atau
menciptakan perubahan-perubahan disegala bidang kehidupan di masyarakat.
Oleh karena itu, jika
kita mencermati asal usul kata sejarah, dapat kita temukan bahwa kata sejarah
sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun, yang berarti pohon, silsilah dan asal usul. Yang dapat
dibaca Syajarah yang berarti pohon
kayu. Seperti dapat kita cermati bersama bahwa, sebuah pohon senatiasa
mendeskripsikan proses bertumbuh dan berkembangdari bumi ke udara. Dalam proses
tumbuh dan berkembang tersebut, kemudian memunculkan cabang, dahan atau
ranting, daun, kembang, dan buah. Karena memang, sejarah selalu menggamrkan
proses tumbuh, hidup dan berkembang terus-menerus.
Dengan demikian,
karena manusia sebagai makhluk yang berpikir, sehingga mampu menciptakan
aneka-aneka perubahan dan kebudayaan. Sejarah tidak akan ada tanpa manusia
karena hanya manusia yang mampu membangun
(merekonstruksi) dan menciptakan segala sesutu dibanding kehidupan, dibanding dengan
makhluk hidup lain. Juga, sejarah membutuhkan waktu, waktu adalah isi,
kreativitas dan perubahan. Tanpa waktu, sejarah tidak akan ada, Karena dengan
waktu sejarah menjadi dinamis. Pun jika manusia diam, statis atau tidak berubah
maka tidak bisa melakukan perubahan
dan menciptakan kebudayaan.
Artinya bahwa,
dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini adalah bagian dari proses sejarah
umat manusia, karena manusia sebagai manusia sejarah yang mampu melahirkan
aneka-aneka perubahan di masyarakatnya. Dengan demikian, jika manusia tidak
tahu atau acuh tak acuh terhadap sejarah, maka mustahil akan memproyeksikan
atau merancang kehidupan masyarakat di masa depan. Karena setiap peristiwa yang
terjadi di masa depan itu adalah proses
dan hasil yang dilakukan manusia di masa lalu, pun
sebaliknya. Oleh karena itu, keberadaan sejarah sangat penting ketika manusia
menjalani kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di organisasi
gerakan. Begitupun kita sbagai mansuia bisa mencermati
proses kelahiran
dan dinamika perubahan yang dialami masyarakat maupun organisasi keagamaan seperti
muhammadiyah.
PENDAHULUAN
Ketika Muhammadiyah berdiri tahun 1912, seluruh dunia muslim masih berada dibawah
penjajahan. Belum banyak yang
merdeka secara politis dari cengkeraman imperialisme dan Kolonialisme Barat.
Ditengah-tengah kesulitan seperti itu muhammadiyah berdiri dengan membawa
optimisme baru. Kata-kata atau slogan “islam yang berkemajoean” amat didengung
dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut islam “modern” atau reformis”
seperti yang disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20.
Namun, dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan muhammadiyah tidak
dapat dilepaskan dari arti penting dari dakwah dan tajdid. Kata kunci dakwah
dan tajdid terkait dengan mengemban dan mengamalkan risalah islam, mengajak
kepada kebaikan (al-khair) dan
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sedangkan sistem tata kelolanya,
usaha dakwah dalam artian luas tersbut memerlukan tajdid, baik yang bersifat
pemurnian maupun pembaruan.[2]
Prestasi yang dukir selama satu abad (1921-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat islam di indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjuangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang berharga untuk kematangan sepak terjang oragnaisasi. Banyak organisasi keagamaan di mesir dan pakistan yang mengalami nasib pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami seperti itu, karena pilihan muhammadiyah sebagai organisasi yang menekuni bidang pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan godaan politik praktis.[3]
Prestasi yang dukir selama satu abad (1921-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat islam di indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjuangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang berharga untuk kematangan sepak terjang oragnaisasi. Banyak organisasi keagamaan di mesir dan pakistan yang mengalami nasib pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami seperti itu, karena pilihan muhammadiyah sebagai organisasi yang menekuni bidang pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan godaan politik praktis.[3]
Sebenarnya,
munculnya gerakan dakwah keagamaan ala muhammadiyah di atas panggung sejarah
keagamaan islam di indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya bernafaskan
keagamaan islam, yang merupakan “eskperimen sejarah yang cukup spektekuler”, khususnya ukuran untuk
saat itu. Tantangan zaman yang menghimpit umat islam saat bedirinya Muhammadiyah pada 1912 dapat disebutkan antara lain: umat islam-hampir di
seluruh dunia berada dibaah belenggu dan cengkeraman penjajahan, kebekuan
pemikiran keagamaan, rendahnya mutunya pendidikan terlebih lebih jika
dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang diselenggerekan oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda dan Yayasan-Yayasan Katolik Protestan.
Hal ini tidak saja
yang menyangkut bidang pendidikan, tetapi juga dalam pelayanan sosial, seperti
rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo, dan lain sebagainya. Belum lagi situasi
umum umat islam yang sangat mudah dijumpai di sana–sini seperti kebodohan,
keterbelakangan, dan kemiskinan.
Dalam situasi yang sangat menghimpit seperti itu, muncullah gagasan untuk membentuk suatu “persyarikatan”
(organisasi) keagamaan yang berupaya sebisanya merespon tantangan zaman
tersebut. Usaha umat islam untuk merespon
tantangan zaman dan diwujudkan dalam bentuk pendirian sebuah “organisasi” di
lingkungan Muhammadiyah lebih dikenal dengan istilah “persyarikatan” adalah
ciri khas model gerakan pembaruan
keagamaan di indonesia.[4]
Permasalahan utama
yang dihadapi gerakan muhammadiyah dan gerakan islam yang sudah mapan ialah kegagalan
membaca pesan sentral pendiri gerakan tersebut. Pada umumnya aktivis gerakan
muhammadiyah lebih memahami gerakan tersebut sebagai gerakan pemberantasan TBC
yang jauh dari minat membela kaum dhuafa
hanya karena kecenderungan tradisi kehidupan kelas bawah itu diselimuti aura
TBC. Banyak orang kurang memahami dan bisa membedakan antara hasil
(meninggalkan tradisi pemborosan) dengan bagaimana proses sosial-budaya yang
mendorong tumbuhnya kesadaran rasional dan laku objektif seseorang atau
sekelompok orang (umat dan masyarakat).
Dalam hubungan
itulah kiranya kritik Kuntowijoyo terhadap gerakan islam dan gerakan islam pada
umumnya patut dicerna. Kritik Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid) bahwa Muhammadiyah adalah gerakan budaya tanpa kebudayaan, penting menjadi catatatan
abad keduanya. Ini terlihat ketika muhammadiyah sekedar meniru Kiai Ahmad Dahlan
tanpa memahami gagasan dan etos gerakannya. Daya kreatif ijtihad (pembaharuan) bagi kemajuan dan
kesejahteraan umat membeku, terperangkap birokrasi oragnisasi, gurita
pendidikan dan rumah sakit, sehingga terasing dari kehidupan rakyat. Hal serupa
dihadapi bangsa ini ketika praktik pendidikan nasional menjadi ritual dan kehialngan
etos budaya kreatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan islam di indonesia memiliki akar
sejarah, dan basis massa yang tersebar di seluruh indonesia. Jaringan Muhammadiyah yang cukup luas
dengan garda terdepan amal usahan ternayata mampu menembus batas-batas lokal
dan kultural. Ekspansi gerakan ini setidaknya membawa varian-varian dan
akulturasi yang beragam, ememberi kontribusi pada peta sosial dalam masyarakat.
PEMBAHASAN
Sebagai organisasi
dakwah dan sosial, Muhammadiyah secara langsung berinteraksi dengan kenyatan
sosial-kultural di idnoesia yang beragam. Dalam sejarah awal perkembangannnya,
Muhammadiyah sesungguhnya tampil inklusif dan toleran dengan gagasan-gagasan
segar di bidang sosial dan kebudayaan. walaupun memiliki dimensi universal
berkaitan dengan problem umat islam di seluruh dunia, Muhammadiyah muncul
pertama kali pertama dengan ide dan intuisi yang merupakan respon atas problem
lokal ummat islam dan pribumi pada saat itu,(Mulkhan,2000).[5]
Dalam perkembangan
selanjutnya, Muhammadiyah mengalami perubahan style dalam gerakan dakwah. Ia lebih nampak sebagai gerakan
anti-kebudayaan lokal dalam arti syirik,
tahhayul, bid’ah dan khurafat yang banyak berlaku di kalangan masyarakat
tradisional yang diwariskan secara turun temurun meminjam istilah Abdur Munir
Mulkan,(2000), Muhammadiyah mengalami formalisasi yang mengedepankan syariah
sebagai doktrin ideologis perubahan sosial. Formalisasi syariah ini
mengantarkan Muhammadiyah berada pada posisi yang konfrontantotif dengan tardisi
lokal, baik di tengah mayoritas islam tradisional maupun tradisi kejawen atau
abangan. Perubahan sosial diarahkan untuk memunirkan ajaran Islam dari berbagai
praktek keagamaan populer. Lebih lanjut, para ahli ilmu sosial menempatkan
Muhamamdiyah sebagai gerakan Islam modernis yang berkonsentrasi memunirkan
ajaran islam seperti dicontohkan Muhammadiyah dalam perspektif syariah.
Gerakan ini akhirnya dipandang meletakkan rasionalisasi sebagai alat mencari
dan menemukan ajaran islam murni tersebut.[6]
Akibat adanya
institusionalisasi atau formalisasi itulah banyak muncul gagagsan yang terbuka
dan toleran terhadap pluralitas kebudayaan. Manhaj Tarjih dengan tiga
pendekatan (bayani, burhani, irfani)
di rumsukan Muhammadiyah pada era formalisasi syariah sebagai salah satu
metologi dalam menafsir realitas sosial budaya. Dakwah kultural juga
dideklarasikan pada Tanwir Muhamamdiyah Tahun 2002 di Bali sebagai sebuah
penegasan kembali bahwa Muhamamdiyah sesungguhnya tampil inklusif.
Jika
dulu, bila fakta sejarah Muhammadiyah diamati secara jeli,
akan terlihat bahwa organisasi ini, serta pendiri dan tokoh-tokoh masa awalnya,
telah menampakkan apresiasi yang besar terhadap beberapa unsur budaya Jawa.
Dengan mengungkap sejarahnya, kita akan menemukan bahwa Muhammadiyah pernah
memiliki hubungan yang baik dengan budaya jawa. Memunirkan [pengalaman islam]
tak harus berarti menghilangkan atau merusak seluruh unsur budaya Jawa.[7]
Pada beberapa
tahun belakangan, para pemuka Muhammadiyah dan sebagian warganya berupaya
melakukan intropeksi dan memikirkan ulang eksistensi Muhammadiyah. Salah satu
di antara banyak hal yang menjadi perhatian mereka adalah hubungan antara
Muhammadiyah dan budaya local (indigenous),
termasuk budaya Jawa. Dalam Tanwir (yang merupakan sidang tertinggi setelah
muktamar) yang di adakan di Denpasar, Bali pada 2002, Muhammadiyah berupaya
bersikap lebih ramah dalam hubungannya dengan budaya local dengan mengetengahkan tema “Dakwah Kultural untuk Pencerahan
Bangsa”.[8]
Gagasan
mengeratkan hubungan antara Muhammadiyah dan budaya local mencuat pertama kali pada Muktamar ke-43 pada 1995 di Aceh.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-44 pada 2000, Pimpinan Muhammadiyah menyeriusi
gagasan ini. Mereka membentuk tim, yang dinamai Tim Perumusan Dakwah Kultural
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang bertangung jawab mendalami gagasan ini. Tim
ini terdiri dari enam orang: A.Watik Pratikna, Bahtiar Effendy, Abdul Munir Mulkhan,
Hajriyanto Y.Thohari, Haedar Nashir, dan Meslim Abdurahman.[9]
Runtuhnya
kolonialisme dan dekonstruksi orientalisme
memicu pergeseran dalam paradigma untuk menganalisis masyarakat jawa. Paradigma
orientalis yang terus dipakai untuk menggambarkan Jawa hingga 1960-an ditantang
oleh sebuah perspektif baru yang dinamakan, mengikuti istilah Woodward,
paradigma islam-centerd, yang
berpusat pada islam.[10]
Walau
Woodword mencoba membuktikan bahwa,
orang Jawa punya akar dalam budaya India, ia malah menegaskan bahwa islam
mengarahkan tata karma dan standar etika kehidupan sehari-hari orang Jawa,
dalam segala bentuk dan keadaan. Islam menjadi agama istana dan agama resmi.
Orang-orang bisa kemudian menyerap tradisi dan peradaban istana yang mereka
anggap lebih luhur dari tradisi dan peradaban mereka sendiri. Mengapa
keberhasilan islam demikian menyeluruh, Woodward menyatakan bahwa, “Islam telah
meresap begitu cepat dan mendalam ke dalam anyaman budaya jawa karena ia dianut
oleh istana-istana kerajaan sebagai landasan bagi Negara Teokratis”.[11]
Oleh karena itu,
dapat disebutkan bahwa, tahun 1912-1930-an adalah tahapan proses pembentukan
atau berdirinya organisasi muhammadiyah. Lalu kemudian pada era 1930 hingga
1945 ini adalah masuk tahapan era ideologis atau ideologisasi pemikiran ke
segala bidang. Maka ditandai dengan, terbentuknya lembaga Tarjih, pendirian
lembaga Tarjih ini dipelopori oleh KH.Mas Mansur, seorang ulama dari daerah
pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan
pedalaman memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal ketat
dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta. Selain melewati proses
tahapan pelembagaan atau formalisasi yang kemudian menjadi arus utama gerakan
berbeda dari arus utama periode awal yang begitu terbuka dan bekerja sama
dengan hampir semua kekuatan sosial dan nasional.
Juga, di era ini
muhammadiyah berhubungan simbiosis atau bekerjasama dengan Boedi Oetomo karena memang KH.Ahmad Dahlan sempat aktif di
organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo tersebut. Pun bahwasannya para pendiri
Muhammadiyah merupakan priyayi Keraton Ngayogyakarta dan banyak bersentuhan
dengan kegiatan didalamnya sebagai bagian dari keterbukaan gerakan ni atas
budaya Jawa. Dalam istilah, Abdur Munir Mulkhan menyebut bahwa, era awal
bedirinya muhamamdiyah adalah perilaku sufi para aktivis gerakan di tingkat
nasional seperti pendiri Kiai Ahmad Dahlan. Tampak adanya hubungan antara sikap
toleran, terbuka, dan sufi tarekat, dengan apresiasi atas budaya Jawa dan
budaya asing lainnya.
KESIMPULAN DAN RELEVANSI PEMIKIRAN
Dengan demikian, ada 2 point penting mengenai relevansi pemikiran
kebudayaan organisasi Muhammadiyah di era awal (masa lalu) dan era sekarang
(masa depan):
1.
Merawat Kebudayaan
Organisasi Muhammadiyah
tidak anti budaya atau
mengabaikan budaya jawa. Karena memang
pada
dasarnya, ketika kita membaca dan mencermati sejarah berdirinya organisasi
muhammadiyah adalah bahwa, muhammadiyah
sendiri memiliki hubungan yang sangat kuat dan dinamis dengan budaya local (jawa), karena memang Muhammadiyah
secara geografis lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan jawa.
Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem
pamethakan di Keraton Ngayogyakarta
Haginigrat. KH.Dahlan mampu mewarnai keratin dan masyarakat jawa tanpa harus
memusuhinya/menyingkirkannya. Justru, pada saat periode awal berdirinya
menjadikan islam dan kebudayaan sebagai entitas tunggal. Contoh nyata,
muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap gerebek. Tiga
garebek besar secara rutin diadakan di Kesultanan Yogyakarta, yaitu Gerebek
Mulud, Gerebek Besar, dan Gerebek Pasa. Muhammadiyah menganggap praktik-praktik
gerebek sebagai sarana dakwah Islam. Inilah salah satu alasan mengapa
Muhammadiyah terus ikut serta dalam ritual-ritual gerebek Kesultanan.
Juga, bukti
muhammadiyah menjaga budaya jawa bahwa, Ahmad Dahlan membolehkan para khatib di
Jawa biasa menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab. Padahal, sebagian besar
jamaah Jum’at tidak mengerti bahasa Arab, sehingga khutbahnya pun tidak dapat
dipahami. Karena itu, Muhammadiyah menyesuikan cara penyampaian khutbah ini
agar lebih tepat sasaran, yakni dengan menggunakan bahasa lokal. Hal ini
dikonfirmasi oleh Von der Mehden menyatakan bahwa: Upaya-upaya gerakan reformis
tersebut di Jawa untuk melindungi dan memajukan sejarah dan seni Jawa turut
menopang nasionalisme. Upaya perhimpunan ini untuk mengembangkan Djawa-dipa, bahasa Jawa rendah yang
digunakan para petani, juga punya nuansa nasioanlis. Di Jawa kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah membuat mereka berkembang seperti separatism serupa”.
2.
Sikap Toleran/Inklusif
Disaat
yang sama poliklinik muhammadiyah menyediakan santunan bagi rakyat miskin,
orang-orang Tionghoa dan Belanda. Bersamaan itu pula gerakan ini juga menerima
dari bangsa-bangsa lain yang beragama bukan islam. Kepedulian gerakan ini pada
penderitaan orang lain PKO dengan lembaga rumah miskin, yatim-piatu dan
santunan bagi gelandangan, memebuat gerakan ini cepat cepat berkembang dan
memeroleh dukungan dari berbagai kalangan, baik umat islam atau Nasrani juga
Konghucu dan Budha.
Sikap
toleran dan terbuka serta adaptif terhadap pengalaman kebaikan diri
bangsa-bangsa lain seperti itu justru antara lain membuat gerakan ini memeroleh
sorotan dan kritikan tajam dan cemoohan. Misalnya muncul ucapan, muhamamdiyah
itu kafir, agama baru, menghilangkan kesucian agama islam, ajarannya sesat”.
Kalimat-kalimat ini merupakan bagian dari cemoohan publik terhadap warga
muhammadiyah dan organisasinya diberbagai daerah di tahun-tahun awal gerakan
ini berdiri hingga 1950-an. Ketika muhammadiyah menyebar ke suatu daerah di
tahun-ahun tersebut, aktivisnya akan segera memeroleh dampratan dengan cap-cap
miring seperti itu.
Di
satu sisi, sikap tersebut merupakan pembangkitan nergi dari luar bagi kegiatan
Muhammadiyah pada era awal gerakan ini berdiri, tumbuh dan berkembang. Kemudian
hari, gerakan ini terkesan anti-jawa, anti-sufi, dan anti-budaya asing. Dan
dikenal sebagai gerakan yang kelahirannya dipandang sebagai perlawanan atas
segala Kristenisasi. Padahal, sejak awal, gerakan ini justru banyak
terinspirasi tradisi bangsa-bangsa modern yang Nasrani dan bangsa-bangsa yang
hadir bersama masuknya kolonialisme. Kiai Dahlan mengambil fungsi-fungsi
pragmatis dari kaum Kristiani dalam mencapai tujuan-tujuan social. Ia juga
terinspirasi oleh gerakan pemurnian di Timur Tengah untuk menemukan subtansi
ajaran islam, selain alasan alasan rasional dari Abduh dan Rasyid Ridha.
[3] (M.Amin
Abdullah, Fresh Ijtihad Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di Era
Disrupsi, Hal:1-2).
Komentar
Posting Komentar