Tahun Baru Islam, Semangat Baru Umat Islam Indonesia di Abad 21
Tepat pada hari Ahad
ini, tanggal 1 september 2019, umat islam indonesia menyambut tahun baru islam,
yaitu tahun baru ke 1441 H. Hampir di web online sebagian umat islam
mengucapkan tahun baru islam ini dengan aneka harapan, saran dan doa baik bagi
diri sendiri, masyarakat maupun untuk agama islam itu sendiri. Juga, tahun baru
islam, tidak hanya sebatas diucapkan secara simbolis di web2 online, melainkan
banyak cara dan agenda dilakukan oleh masyarakat indonesia khususunya yang
beragama islam. Misalnya, kita bisa melihat di DKI Jakarta masyarakat menggelar
festival obor, muhasabah diri, dan shalawatan,dll. Pun di Jawa Timur,
masyarakat menggelar (grebeg suro) yang sudah menjadi tradisi disetiap
kecamatan kota,dll. Tahun baru islam, hampir di ikuti atau disemarakan oleh
seluruh masyarakat, baik dari golongan atas/pejabat pemerintah kota/desa,dll,
hingga golongan bawah/masyarakat biasa, baik pemuda-pemudi,
mahasiswa-mahasiswi, anak SMS,SD.
Oleh karena itu,
sebagai warga masyarakat yang baik dan berakal sehat, khususnya sebagai
masyarakat islam, maka masyarakat tidak sebatas merayakan secara simbolik dan
berpesta pora atau berhura-hura menghabiskan banyak tenaga, pikiran dan uang.
Karena itu, masyarakat atau umat islam perlu tahu sejarah dan latar belakang
terkait adanya tradisi perayaan tahun baru islam ini, lebih-lebih tahu dan mau
menggali makna atau manfaat yang mendalam dibalik tahun baru islam, agar supaya
dapat dijadikan momentum dan landasan dalam menjalani dan membangun sebuah
masyarakat yang sukses dan beradab di masa kini maupun masa depan.
Kalender Hijriyah ini
menjadi sangat urgen, penting ketika wilayah kekhalifahan melebar dan meluas. Pencatatan dengan memakai patokan
sebuah peristiwa tertentu dirasa kurang afdol
juga tak lagi memadai karena banyak mengandung kekurangan dan kelemahan.
Banyak sekali peristiwa penting pada saat dan menjadi sulit untuk menentukan
mana yang terpenting yang bisa dianggap mewakili tahun tersebut.
Selain alasan di atas,
penetapan tahun pertama kalender ini dianggap sangat penting untuk keperluan
administrasi dan korespondensi (surat menyurat) pemerintah di bawah khalifah.
Pernah suatu hari seorang Gubernur Basrah, Abu Musa Al-Asyári, menulis surat
kepada khalifah di Madinah yang isinya menyoal kronologi surat-surat dari
khalifah yang tak beliau pahami gegara tanggal dan bulan saja.
Sejak itulah kemudian
Khalifah Umar bin Khattab berinisiatif untuk mengumpulkan beberapa sahabat
senior dan mengajak mereka bermusyawarah tentang pentingnya penetapan kalender
Islam. Di antara mereka, ada yang mengusulkan perhitungan tahun pertama yang
dijadikan penanggalan kalender, yaitu berdasar pada tahun kelahiran Nabi
Muhmmad SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan tanggal wafatnya Nabi. Ada
juga usulan awal penanggalan tersebut saat pertama turunnya wahyu, dan lain-lain.
Setelah musyawarah
selesai, ada satu kesepakatan yang dijadikan sebagai keputusan bersama yakni
usulan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau mengusulkan tahun pertama
kalender Islam didasarkan pada awal peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari
Makkah ke Madinah. Sama sekali berbeda jauh dengan cara atau metode yang
digunakan agama-agama lain.
Tahun baru Islam atau
hijriyah tahun ini hendaknya kita maknai sebagai tahun baru yang kaya akan
makna dan pesan (hikmah). Pergantian tahun tersebut mengandung banyak pelajaran
yang bisa kita ambil sebagai pemaknaan hidup. Dalam pergantian atau perubahan
tahun tersebut ada makna yang terselip di dalamnya sebagai sebuah pergantian
atau perubahan akhlak setiap diri seorang muslim. Perubahan dari akhlak tercela
menjadi akhlak terpuji. Pergantian dari
perilaku tak terhormat menjadi perilaku yang diridhoi oleh Allah SWT. (IIP
RIFAI, Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta,
Pascasarjana UIN SMH Banten, OPINI diatas pernah dimuat di Web GEOTIMES, dengan
judul Spirit Muharram 1440 Hijriyah, Rabu, 12 September 2018).
Makna
Tahun Baru Islam (Hijriah)
Kalender Hijriyah yang
dimulai pada tahun 622 Masehi menjadi penanda dimulainya sebuah peradaban Islam
yang dibangun Nabi Muhammad SAW. Sejarawan Islam Tiar Anwar Bachtiar menyebut,
kalender Hijriyah telah memberikan sumbangsih besar dalam kegiatan administrasi
pada peradaban Islam.
Tiar menjelaskan,
Kalender Hijriyah pertama kali dipakai pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Saat itu, Umar mendapatkan surat yang tak dilengkapi tahun, hanya hari dan
bulan. Lalu, sang khilafah mulai bermusyawarah dengan para sahabat untuk
membuat sebuah sistem perhitungan tahun. "Karena sebelumnya
kan umat Islam maupun bangsa Arab tidak punya perhitungan tahun, hanya penamaan
tahun saja. Semisal tahun kelahiran nabi yang dinamai tahun Gajah," kata
Dosen sejarah di Universitas Padjajaran Musyawarah itu, lanjut
Tiar, akhirnya bersepakat untuk memulai sebuah perhitungan tahun atau kalender
dengan merujuk pada tahun Nabi melaksanakan Hijrah dari Makkah ke Yastrib
(Madinah). Tahun saat Nabi berhijrah disepakai sebagai tahun satu. "Oleh karena itu
namanya tahun Hijriyah," ungkap Pembina komunitas Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB) ini. Sejak saat itulah,
lanjut Tiar, semua kegiatan administrasi dalam peradaban Islam, seperti
penanggalan dalam surat mulai menggunakan penhitungan dengan angka. Meski
demikian, penamaan bulannya tetap merujuk pada penamaan bulan yang telah
digunakan sebelum peradaban Islam dimulai. Dalam beberapa hari
lagi atau tepatnya 1 September 2019 Masehi, umat Islam akan menyambut tahun
1441 Hijriyah. Tiar berharap, pergantian tahun Hijriyah ini dimaknai umat
muslim sebagai waktu untuk berhijrah. Yakni, berhijrah untuk mewujudkan Islam
sebagai agama yang Rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta). Para ulama pensyarah
hadits menjelaskan: "Jika sebuah negeri telah berubah menjadi kawasan
Islam, maka hijrah fisik tidak wajib lagi hukumnya"
Dijadikannya Muharram
sebagai awal penanggalan dalam Islam, karena di dalamnya ada momentum tepat
yang layak direnungkan dan semangat yang patut diabadikan dalam sejarah, yaitu
peristiwa hijrahnya Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya dari Makkah ke Madinah.
Inilah yang melatar
belakangi Khalifah ‘Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anh menjadikannya titik
tolak penentuan awal bulan Hijriyyah. Walaupun data lain menyebutkan, hijrahnya
kaum Muslimin terjadi awal bulan shafar sebagaimana informasi Al-Manshurfuri
yang dipetik Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiqul Makhtum. Api sejarah dan spirit
perjuangan yang tetap harus menyala; peristiwa hijrah benar-benar menginspirasi
setiap insan yang sadar akan tanggung jawabnya dalam menggali dan memelihara
mutiara-mutiara terpendam yang terkandung di dalamnya.
Di antara percikan
‘ibrah dan hikmah itu, menurut para ahli sierah adalah:
Pertama, kesabaran dan
keteguhan hati dalam mempertahankan cita-cita sekalipun kesulitan dan rintangan
datang silih berganti.
Kedua, adanya kesediaan
berkorban dalam segala hal; mulai dari korban kesenangan diri, korban perasaan,
korban harta benda, korban rumah tangga dan bahkan adakalanya meminta
pengorbanan fisik.
Ketiga, yakin adanya
harapan, yaitu cita-cita dan kemauan yang tak pernah lelah, tidak kenal kata mundur, apalagi
putus asa, dan selalu memiliki jiwa optimisme.(Hijrah; Api Sejarah yang Tak
Boleh Padam. (Sabtu, 23 September 2017 - 09:05 WIB. Di akses pada hari minggu
tanggal 31 agustus 21:30 WIB).
Semangat
Kebangkitan Umat Islam
Kebangkitan suatu
kelompok manusia dapat dilihat dari kebebasannya dalam mengambil keputusan dari
kekompakan serta kesatuan pendapatnya dalam mengemban misinya ke negara- negara
lain kebangkitan itu juga terlihat dari ketinggian nilai perjuangan mereka.
Manusia (individu) yang
bangkit ditandai dengan tersalurnya nilai kemanusiaannya yang dilandasi oleh
akal fikiran. Karena kemampuan mengekspresikan serta memfungsikan akal fikiran
itulah yang membedakan manusia dari jenis makhluk yang lain. Apabila akal
fikiran dijadikan landasan untuk merenungkan segala yang ada dan yang berkaitan
dengan peri-kehidupan, maka akan lahir suatu aturan dan sistem kehidupan yang
mampu meningkatkan serta menyempurnakan moral dan akhlaq manusia.
Apabila manusia mampu
memfungsikan akal pikirannya secara sehat, mengendalikan hawa nafsu dan
mengontrol tabiatnya, maka dia akan mencapai tingkatan kehidupan dan peri
kehidupan yang manusiawi. Dia dapat mencapai kemuliaan, harga diri, dan
kepribadian yang tinggi. Segala inspirasi dan akal pikiran manusia haruslah
bersumber dari petunjuk wahyu Allah penciptanya. Sebab jika tidak demikian maka
kebangkitan itu akan tidak terkendali, atau akan jatuh kepada tingkatan
kehidupan yang serendah rendahnya atau kosong dari keluruhan budi dan kemuliaan
akhlaq. Apabila manusia hanya memperturutkan kecenderungan nafsu syahwatnya,
maka keseimbangannya akan goyah, dan dia akan lebih berat kepada urusan duniawi
atau jatuh tersungkur ke derajat hewan.
sebagaimana diketahui
bahwa suatu kelompok manusia tidak dapat dikategorikan masyarakat kecuali
apabila mereka terhimpun dalam perasaan yang satu yang dibimbing oleh pemikiran
yang satu, terikat dengan pergaulan dan hubungan yang kekal, serta diatur oleh
sistem perekonomian yang baik pula. Inilah tiga norma dan nilai yang harus
dimiliki oleh suatu kelompok manusia agar dapat dikategorikan sebagai suatu
masyarakat.
Para penumpang sebuah
kapal yang meskipun terdiri dari sekelompok manusia ternyata tidak dapat
dikatakan sebagai suatu masyarakat karena mereka tidak bersatu dalam pemikiran,
perasaan, dan tidak hidup dalam satu peraturan dan hukum.
Adapun penduduk suatu
kota atau dusun kecil merupakan masyarakat karena mereka terkait dalam hubungan
yang tetap dan kekal, yang melahirkan kepentingan bersama, dia diatur oleh
norma serta hukum tertentu. Karena itulah mereka dikategorikan sebagai suatu
masyarakat.
Ketiga norma dan nilai
tersebut harus dikendalikan oleh akal dan bukan perasaan. Mereka berkumpul
untuk menyelesaikan suatu persoalan dengan akal pikiran dan bukan dengan
perasaan atau kecenderungan hawa nafsu.
Adapun kelompok manusia
yang dikategorikan sebagai suatu masyarakat haruslah selalu berkumpul, dimana
dengan akal pikiranya mereka membicarakan hal-hal yang menyangkut urusan dien,
sosial, paham, dan pendirian sehingga terjadi peningkatan kearah pembentukan dan
pembinaan ummat. Maksud dari pembahasan masalah-masalah dien dan pikiran di
sini adalah menjadikan dien dan pendirian sebagai azas bagi peri kehidupan
serta jalan bagi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka menjadikan dien dan
pendirian itu sebagai faktor vital yang mengendalikan partisipasi dan
kecenderungan mereka. Tanpa adanya faktor pendirian dan dien maka norma dan
nilai kebangkitan tidak akan terwujud.
Menurut Bennabi,
seluruh peradaban muncul sebagai akibat dari prinsip keagamaan yang
mengartikulasikan kontur-kontur peradaban. Agama mengorganisasikan berbagai
kekuatan vital manusia dan menggerakannya dari dominasi dorongan biologis dan
insting untuk bertahan hidup pada tingkat yang padanya semua itu dijinakkan di
bawah kekuasaan spiritual agama. Dalam islam, fase ini berkorespodensi dengan
periode kenabian dan masa-masa setelahnya. Fase ini memuncak dalam apa yang
disebut Bennabi sebagai “zaman ruhani”. Sembari berkembang, peradaban juga
meningkat kompleksitas serta sumber –sumber dayanya, memicu tahap kedua
kemajuan peradaban, “zaman laar”. Fase ini melemahkan dorongan beragama yang
muncul pada era pertama, dan masyarakat mulai kehilangan komitmen mereka
terhadap berbagai hukum moral dari dasar keagamaan mereka,meskipun agama itu
berkembang secara materi maupun intelektual. Alam menegaskan kembali kontrolnya
atas individu dan masyarakat, secara bertahap mengurangi vitalitas peradaban
itu sendiri dan membawanya pada kerusakan serta kemunduran. Ikatan-ikatan
kemasyarakatan terurai, mengakhiri siklus peradaban. “kecerdasan selalu
merupakan fungsi ruh: ketika kecerdasan tidak lagi memiliki kemurniannya, ruh
tidak lagi memiliki kearifannya,”. Demikian tulis Bennabi.
Bennabi mengatakan
bahwa ada dua fase yang menandai evolusi manusia: “pra-peradaban dan pasca-peradaban.
Pada fase pertama, manusia memiliki potensi menciptakan peradaban, sebagaimana
halnya orang Arab pra-islam; dalam fase pasca peradaban, manusia telah
kehilangan kapasitas untuk beritndak membangun peradaban. Umat muslim kini
berada pada kondisi yang di dalamnya kekuatan peradaban mereka telah habis.
Mereka terperangkap dalam silogisme berbahaya “kami muslim, karennya kami
sempurna”, yang cenderung melemahkan kemungkinan kesempurnaan pada individu
dengan menetralisasikan semua harta dalam dirinya untuk mencapai kesempurnaan,
tulisnya.
Masyarakat melahirkan
individu-individu yang tak bergerak karena terperangkap dalam kondisi
biasa-biasa saja, tidak melakukan apa pun, dan kebanggaan diri. Semua hal ini
membentuk elite moral baru pada manusia pasca-peradaban islam. Kelumpuhan moral
membawa pada kelumpuhan intelektual. Pemikiran membatu dalam dunia yang padanya
tidak ada lagi penalaran karena penalaran tidak lagi memiliki objek
sosial.(Ali.A.Allawi. Krisis Peradaban Islam. Antara kebangkitan dan keruntuhan
Total.(Hal:128).
Apapun yang dipikirkan
orang atas teori Bennabi mengenai kebangkitan dan kejatuhan berbagai peradaban,
pendapat-pendapatnya tentang prasyarat revitaliasi peradaban islamlah yang
paling menarik. Dia membangun suatu formula bahwa tindakan peradaban terdiri
dari tiga elemen: faktor manusia, sumber sumber daya bagi manfaat masyarakat,
dan pengaruh waktu. Agen yang menjadi katalisator bagi ketiganya adalah
dorongan religius..... kombinasi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk suatu
tindakan peradaban menjadi hampir tak berfungsi ketika peradaban kehilangan
energi katalisatornya. Hilangnya dorongan agama dalam masyarakat muslim,
khususnya, hilangnya hukum-hukum moral bagi tindakan kemasyarakatan dan
individu telah mendorong berbagai masyarakat muslim menjadi tergantung
sepenuhnya terhadap produk dan proses dari peradaban lainnya. Ketergantungan
dan kemelaratan merupakan konsekuensi-konsekuensi yang tak terhindarkan.
Pembangunan hubungan
antar manusia dalam masyarakat-masyarakat yang berfungsi baik mengikuti pola
terkait. Individu yang terisolasikan atau orang (syakhs dalam bahasa arab)
bergabung dengan semesta gagasan dan materi untuk membentuk komponen suatu
masyarakat. Bennabi memberikan penekanan besar pada ketahanan gagasan-gagasan
vital sebagai elemen utama bagi revitalisasi masyarakat-masyarakat terpecah.
Dia memberikan contoh kebangkitan Jerman dari puing-puing peperangan mengikis
elemen materi (atau sumber daya)-nya telah hancur. Namun, gagsan, jika berdiri
sendiri, tak mencukupi bagi kelangsungan hidup masyarakat, jika keterikatan
antar manusia telah lemah. Takluknya muslim Andalusia di tangan katolik Spanyol
yang secara intelektual lebih rendah daripada mereka, disebabkan keunggulan
Katolik Spanyol dalam kohesi sosialnnya.(Hal:130).
Elemen pokok dari
konstruksi Bennabi adalah gagasan colonisabilite, atau kecenderungan untuk
menerima secara tak kritis berbagai norma, nilai, dan hukum dari
peradaban-peradaban dominan atau penakluk. Dia menganggap bahwa masyarakat
islam berada dalam fase “pasca peradaban” dan lebih rentan terhadap tuduhan
ini. Umat muslim mungkin tidak akan sedemikian terpengaruh berbagai gagasan
Barat jika mereka sebelumnya tidak berada dalam kondisi cenderung menerimannya.
Berbagai peradaban yang tenggelam sebenarnya telah kalah sebelum terjadinya
pertemuan langsung dengan kekuatan kekuatan dominan. Mereka telah kehilangan
vitalitasnya dan dengan demikian, menjadi mangsa empuk. Peradaban dominan
mungkin perlu memulai penaklukan fisik untuk mencapai tujuan-tujuannya. Masyarakat
yang terjajah, dan, lebih penting lagi, individu yang terjajah, telah takluk
pada norma-norma penakluk, kerap dengan sedikit atau tanpa perlawanan sama
sekali.(Hal:131).
*)Penulis
adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama
Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, 01
September 2019, 15:30 WIB.
Komentar
Posting Komentar