Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Foto: Republika/Da'an Yahya
Era digitalisasi 4.0 harus menghasilkan insan berkarakter mulia yang berkecerdasan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haedar Nashir


Para pendiri Republik ini sungguh bijaksana. Mereka merumuskan salah satu tugas utama Pemerintahan Indonesia ialah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata “cerdas” artinya  “sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti, dan tajam pikiran; serta sempurna pertumbuhan tubuhnya  menjadi sehat dan kuat”. Kata “mencerdaskan” ialah “menjadikan cerdas; mengusahakan dan sebagainya supaya sempurna akal budinya”.

Objek yang dicerdaskan bukan hanya manusianya, tetapi secara keseluruhan yakni kehidupannya. Menyangkut budaya, sistem, dan lingkungan sehingga luas cakupannya dalam perikehidupan kebangsaan. Menurut sejarahwan Prof Taufik Abdullah, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam menyangkut pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Dalam Islam identik menjadi bangsa yang berkebudayaan Iqra dan membentuk peradaban maju yang cerah-mencerahkan dalam rancang-bangun  “al-madinah al-munawwarah”.

Ketika saat ini kehidupan kebangsaan dilanda “demam nasional” era revolusi industri 4.0, selain orientasi positif untuk mampu hidup di zaman baru itu. Sisi lain yang menyeruak ialah gagap budaya disertai alam pikiran instrumental yang serbapraktis dan parsial. Dunia pendidikan pun dituntut berorientasi pada penguasaan teknologi dan ekonomi digital. Seolah era postmodern tersebut sekadar urusan penguasaan teknologi informasi canggih dan praktis belaka. Lupa bahwa di negeri-negeri maju baik di Barat maupun Timur, menapaki era baru tersebut diawali dengan revolusi jiwa dan pemikiran dalam rancang-bangun kebudayaan modern yang berkemajuan dalam pergumulan yang sangat panjang. Tidak melompat ke urusan serbateknis dan praktis!

Banyak hal dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini  pun dimamah secara tidak berkecerdasan. Rebutan istilah dan debat kusir soal radikalisme dengan kebiasaan saling tuding atau saling-sanggah secara sumbu-pendek. Lahir sikap-sikap ekstrem berlogika “pasca-kebenaran” atau “post-truth” yang bernuansa subjektif dan bernarasi keyakinan-buta sarat kepentingan naif. Tampil sososk-sosok garang yang bersuara lantang sebagai simbol  pembawa “kebenaran” dengan argumen-argumen dangkal yang absurd. Kebijakan dan langkah yang diambil juga menjadi kehilangan kecerdasan, baik yang dilakukan negara maupun sebagian masyarakat sipil yang nir-perspektif luas.

Demikian pula dalam memperbincangkan dan menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, kekerasan, pengurasan sumberdaya alam, kebakaran hutan, politik uang, legislasi undang-undang, kepemimpinan nasional, pemilu, dan persoalan-persoalan krusial kebangsaan yang menjadi beban nasional. Banyak ingin melompat seolah berada di ruang vakum. Institusi biasapun kata Buya Syafii Maarif disucikan. Nilai dikonstruksi hanya hitam-putih secara sepihak dan apologi. Banyak hal menjadi tampak dangkal serta sarat tarik-menarik tafsir dan kepentingan bersumbu pendek, praktis, dan pragmatis. Semua bermula dari hilangnya mozaik dan basis kecerdasan multiperspektif dalam perikehidupan kebangsaan!


Orientasi Satu Dimensi

Bangsa Indonesia tidak akan tiba-tiba maju dan mampu menghadapi serta berkualitas unggul di era revolusi industri 4.0 secara instan dan dangkal. Perlu gerakan pendidikan dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” secara sistematis dan berkelanjutan melalui proses yang “long term” atau jangka panjang dan multidimensi. Apalah artinya generasi bangsa berkeahlian secara teknis atau instrumental dalam penguasaan teknologi informasi dan aspek kognisi semata tanpa topangan basis karakter dan budaya cerdas yang dibentuk secara tersistem dan terus menerus melalui pendidikan nasional dan rancang-bangun perikehidupan kebangsaan yang mapan berkemajuan.

Boleh jadi kita sebagai bangsa secara kolektif abai dengan warisan para pendiri negeri yang sangat berharga ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa! Sehingga yang menyeruak ke permukaan ialah sederet jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan yang instan dan kerdil yang bermakna ketidakcedasan. Pendidikan pun seolah harus dibawa ke serba teknologi digital dan urusan ekonomi, padahal pendidikan yang benar harus sepenuhnya urusan membangun akal budi secara luas, termasuk mendidik karakter bangsa secara berkelanjutan. Dalam bait lagu Indonesia Raya sangatlah terang: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Proses membangun jiwa-raga dan akal-budi sungguh tidak dapat melompat secara tiba-tiba.

Pendidikan dalam konteks dunia industri dan teknologi informasi yang canggih sekalipun tidak akan mampu bertahan lama manakala sumberdaya manusianya dibentuk —dalam istilah Alvin Toffler— sebagai “the modular man” (insan modular) seperti robot keluaran pabrik. Mereka mungkin secara teknis berkeahlian tinggi, tetapi kehilangan orientasi kehidupan (disorientation) karena tidak memiliki basis karakter dan budaya yang kokoh dalam menghadapi dunia modern. Akibatnya, sosok-sosok anak manusia yang dihasilkan mengalami kejutan masa depan (the future shock), ketika kemajuan dunia modern indutsrial dan telnologis itu tidak lagi mampu diimbangi dengan mentalitasnya yang mencukupi seperti jujur, terpercaya, mandiri, beretos kerja tinggi, gigih, toleran, berjiwa sosial, dan berbudi luhur.

Dunia pendidikan baik formal maupun informal dan nonformal yang menggenjot kecerdasan “instrumental” tanpa landasan pendidikan karakter dan kebudayaan yang kokoh akan melahirkan apa yang disebut William Ogburn sebagai “cultural lag” atau kesenjangan budaya. Dalam masyarakat yang mengalami kesenjangan budaya terdapat kondisi  kehidupan materi  jauh lebih maju ketimbang budaya spiritual. Hal-hal serba inderawi seperti kesejahteraan fisik, kemampuan berteknologi dan digitalisasi berkembang cepat mengikuti deret ukur sementara ketahanan moral, etika, life-skill, dan kemampuan sosial tertinggal mengikuti deret tambah.

Robert Marcuse, folosof dan sosiolog Mazhab Frankfurt, bahkan dengan ekstrem memperkenalkan istilah “one-dimensional man” dalam kehidupan masyarakat modern. Manusia hanya menjadi makhluk satu dimensi yang menguasai dan dikuasi teknologi, sehingga pandangan hidupnya serba praktis dan teknologis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai bersifat operasional berbasis filsafat positivisme, sehingga memandang dunia serba determinan tunggal. Kemajuan hanya dicandra dengan hal-hal serba kuantitatif, sehingga kehilangan daya dan nilai-nilai kemanusiaan yang kualitatif dan substantif. Masyarakat dari luar tampak rasional, tetapi nalar dan tindakannya irasional. Manusia modern terdegradasi oleh kapitalisme bendawi sehingga yang dikenali dari dirinya hanyalah komoditas yang mereka miliki, bukan sesuatu yang bersifat eksistensial seperti nilai rasio, moral, dan kebudayaan.


Transformasi Karakter

Bangsa Indonesia mesti melangkah ke depan dengan basis pendidikan dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang kokoh. Revolusi mental sebenarnya harus dimulai dari sistem pendidikan “insan bekecerdasan” yang utuh itu, bukan pada orientasi teknologis dan instrumental yang bersifat satu dimensi. Bukan pula pada pendidikan yang hanya memproduksi manusia pencari pekerjaan dalam paradigma “link and match” ala pabrik. Jika kebijakan praktis-pragmatis itu dilakukan memang secara jangka pendek akan tampak hasilnya sebagaimana pabrik menghasilkan barang, tetapi dalam jangka panjang dunia pendidikan kehilangan jiwa, pikiran, dan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Lihatlah sekeliling dengan seksama. Ketika korupsi, orientasi materi (materialisme), transaksi politik uang, memuja kesenangan duniawi (hedonisme), kekerasan, kerakusan, dan cara hidup menghalalkan apa saja (oportunisme) mulai meluas dalam kehidupan masyarakat, yang terjadi ialah ketercerabutan manusia dari karakter aselinya selaku insan berakal-budi yang bersih (insan hanif, fi ahsan at-taqwim). Karena manusia tercerabut dari kesejatian dirinya yang aseli (fitrah), maka manusia produk pendidikan modern menjadi makhluk satu dimensi laksana robot dan kehilangan orientasi hidupnya laksana musafir di sahara fatamorgana. Beragama pun sebatas kulit luar dengan kegarangan sarat fanatik-buta yang menganggap diri paling suci (tazakku, semuci) dan memproduksi sikap serbaekstrem.

Dalam konteks perubahan sosial, perilaku masyarakat mengalami lompatan (future shock) atau disorientasi (kehilangan arah) laiknya musafir terputus arah jalan. Kita teringat narasi klasik “zaman edan” (zaman kegilaan) sebagaimana nukilan pujangga Ranggawarsito seputar hilangnya martabat dan model perilaku luhur. Ranggawarsito menulis: “Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang halangan.” (Kuntowijoyo, 1999).

Manusia hasil pendidikan modern yang isntrumental, sering mengalami paradoks.  Mereka katanya menjunjungtinggi “keadaban modern”  seperti hak asasi manusia, demokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hal-hal yang positif lainnya tetapi perangainya menjadi “buas” seperti hewan, bahkan lebih buas karena mati potensi qalbunya (QS Al-‘Araf: 179).  Berebut kekuasaan, harta, dan kesenangan duniawai tidak jauh beda seperti masyarakat di zaman batu, bahkan dengan mengatasnamakan agama dan kitab suci.  Anak-anak, perempuan, dan siapapun yang lemah menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Alam dirusak yang melahirkan kebakaran hutan, eksploitasi sumberdaya alam, penguasaan kekayaan negara oleh segelintir orang, serta  tindakan-tindakan lain yang merugikan kehidupan sesama dan semesta.

Korupsi, penyelewengan, dan segala tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral meluas dalam kehidupan. Di tanah air bahkan demonstrasi sering berujung anarki disertai  kekerasan, vandalisme, dan keonaran seolah manusia Indonesia kehilangan karakter yang relijius, Pancasilais, dan berkebudayaan luhur sebagaimana dijadikan klaim keindonesiaan yang autentik. Sebagian orang atau kelompok seakan senang manakala keonaran dan anarki sosial itu terjadi untuk dicarikan kambing-hitam dan tempat legitimasi kesalahan dan kepentingan politik tertentu. Kekuasaan di banyak tempat disalahgunakan. Radikalisme pun menjadi komoditi karena mendatangkan keuntungan materi dan hegemoni. Sesama anak bangsa bertumbuh sikap saling benci, syakwangka, tidak percaya, permusuhan, bahkan terjangkiti  virus  homo homini lupus.

Dalam analisis Berger (1983),  manusia modern yang instrumental mengalami “anomie”  dan “chaos” yakni suatu keadaan setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan hidup dengan sesamanya, sehingga kehilangan petunjuk dan makna hidup yang berarti. Karenanya diperlukan transformasi karakter bangsa berbasis nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang autentik sebagai “kanopi suci” kehidupan. Transformasi karakter luhur seperti itu hanya dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dan rekomstruksi perikehidupan kebangsaan yang berorientasi pada membangun kembali basis karakter dan perilaku manusia Indonesia yang utuh dalam perspektif “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Era digitalisasi 4.0 justru jangan mereduksi dunia pendidikan dan perikehidupan kebangsaan untuk dijadikan pabrik yang melahirkan manusia modular ala robot, tetapi harus menghasilkan insan berkarakter mulia yang berkecerdasan. Revolusi mental bahkan harus memperoleh pijakan, arah, dan perwujudan pada orientasi pendidikan karakter yang multidimensi itu. Di sinilah pendidikan dan rekonstruksi kebangsaan berbasis “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi niscaya jika Indonesia berkehendak untuk menjadi negara dan bangsa maju di era posmodern dengan karakter keindonesiaannya yang kokoh sebagaimana dicita-citakan para pejuang dan pendiri Republik ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)