*Agama Dihapus Saja?
Modernis.co, Malang – Agama Islam tidak akan hilang
di dunia, tapi agama Islam akan hilang di Indonesia. Demikianlah pesan
KH.Ahmad Dahlan pada awal-awal mendirikan perserikatan Muhammadiyah.
Pada tulisan kali ini, penulis juga tidak tahu, mengapa malam ini bisa
dan mau saja menggerakan jari jemari untuk membuka laptop dan mulai
mengetik.
Beberapa hari yang lalu, membaca time line di media sosial dan media cetak pertarungan antara dua pendukung calon presiden. Apa sebenarnya yang bisa diharapkan dari ummat muslim Indonesia hari ini? Bahkan para intelektual pun menunjukan nir akhlak. Bagaimana tidak, semenjak PilPres hanya ada dua pasangan calon, saya rasa tidak ada lagi intelektual muslim di Indonesia. Namun, pada kesempatan kali ini, penulis tidak hendak menulis tentang pergulatan politik. Karena penulis juga bukan pengamat politik. Tidak tertarik dan bukan tidak punya pilihan politik.
Hari ini adalah hari terakhir Islamic Fest, dan kemarin saya membeli dua eksemplar buku karya Buya Hamka. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf, serta Dari Hati ke Hati. Sebelum membeli buku ini, pernah terlintas untuk menulis tentang “Agama Dihapus Saja?”, dan ternyata Buya Hamka telah menulis itu jauh sebelum saya dipikirkan oleh orang tua untuk lahir di dunia dengan judul “Agama? Bisa Dihapus Saja. Di dalam buku “Dari Hati ke Hati”. Buku ini sebenarnya kumpulan tulisan Buya Hamka di majalah Islam Panji Masyarakat dalam rubrik Dari Hati ke Hati selama kurun 14 tahun (1967-1981).
Buya Hamka menulis sangat dalam tentang Agama? Bisa Dihapus Saja. Beliau melihat dunia internasional, adanya dua kutub besar yang coba dibangun oleh dunia barat. Kita mengetahui di Spanyol pernah berjaya dibawah kekuasaan kaum muslimin, tapi lihat sekarang? Jangankan kekuasaan kaum muslimin, bahkan pemuda Cordoba tidak mengenal lagi tentang adzan.
Di Turky, sejak tahun 1924 berakhir kejayaan khilafah Turky Utsmani dengan ditandai berdirinya negara sekuler Turky dibawah kekuasaan Musthafa Kemal Attaturk. Kenapa demikian bisa terjadi? Nampaknya teori Samuel Huntington tentang Clash of Civilization (perang peradaban) antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam) menjadi kenyataan.
Di dunia barat, di bangun sebuah phobia terhadap Islam. Sementara di dunia Islam (negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar) perangnya bukan melawan barat, tapi perang antara kelompok-kelompok keagamaan. Perang Sunni Syi’ah sejak jaman belum ada panas dan dingin sampai sekarang nampaknya belum menemukan titik temu untuk hidup berdampingan.
Di indonesia, sejak El-clasico antara pak Jokowi vs Prabowo, “pertarungan” demokrasi yang menghabiskan energi dan hampir-hampir saja kita bercerai dengan ayah dan ibu kandung lantaran berbeda pilihan politik. Kita bisa mentolerir, jika debat kusir masalah keagamaan terjadi dikalangan masyarakat akar rumput.
Wajar saja, secara keilmuan, merka kurang. Akan tetapi, justru debat kusir dan pembicaraan yang sia-sia justru terjadi dikalangan elit agama ini (Islam). Berbagai ijtihad fiqh berseliweran dimana-mana, bukan untuk mencerdaskan masyarakat awam (penulis sendiri adalah bagian dari masyarakat awam), bukan pula untuk meluruskan apa yang salah.
Tapi justru dalil-dalil agama ditarik sekencang-kencangnya untuk dipaksa membenarkan pendapat pribadi dan kelompok. Bahkan sekelas profesor sekalipun larut dalam arus kebodohan massa. Islam di Indonesia lambat laun akan pudar dengan sendirinya. Benar saja perkataan Al-islam mahjuubun bil muslimin, yang membuat agama islam ini terlihat menyeramkan adalah pemeluknya sendiri. Islam sejatinya agama akhlak.
Kalimat pertama dalam kitab suci adalah Arrahman dan Arrahiim, yaitu kalimat kasih sayang, kalimat cinta kasih. Kita justru luput memahami kalimat cinta kasih tersebut. Kita senang mencari kalimat kitab suci untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan dunia dan nafsu serakah untuk menguasai.
Tidak adakah sedikit saja persamaan di anatar kita untuk bersama ditengah lauatn perbedaan? Tidak adakah setitik persamaan di antara kita, untuk merekatkan lagi tali persaudaraan yang lama hancur lebur oleh kepentingan sesaat? Tidak adakah secuil persamaan diantara kita untuk saling membangun kasih dan cinta? Tidak adakah? Walau hanya sebiji zarroh.
Fazlur Rahman mewanti-wanti dalam bukunya “Tema-Tema Pokok Al-Qur’an”. Di abad modern ini, Al-Qur’an hanya sebatas sumber hukum, bukan lagi sumber akhlak atau sumber religius. Atau jangan-jangan religius kita, religius amplop.
Akhirnya, dari pada setengah-setengah “Islam Sontoloyo” ala Soekarno, mending Islam dihapus saja, ketimbang Islam dibawa untuk kepentingan amplop. Jika karena berbeda, kita tidak bisa bersama, untuk apa ada Bhineka Tunggal Ika. Dekat? Tapi saling benci, seperti Bonek vs Aremania. Untuk apa?.
Mudah-mudahan setelah PilPres ini, kau mau membuka akun medsosku yang kau blokir, lantaran aku mendukung Nurhadi Aldo untuk jadi Presiden.
Sekian!!!!!!
*Oleh Jumadil Azizi (Aktivis IMM UIN Malang)
Beberapa hari yang lalu, membaca time line di media sosial dan media cetak pertarungan antara dua pendukung calon presiden. Apa sebenarnya yang bisa diharapkan dari ummat muslim Indonesia hari ini? Bahkan para intelektual pun menunjukan nir akhlak. Bagaimana tidak, semenjak PilPres hanya ada dua pasangan calon, saya rasa tidak ada lagi intelektual muslim di Indonesia. Namun, pada kesempatan kali ini, penulis tidak hendak menulis tentang pergulatan politik. Karena penulis juga bukan pengamat politik. Tidak tertarik dan bukan tidak punya pilihan politik.
Hari ini adalah hari terakhir Islamic Fest, dan kemarin saya membeli dua eksemplar buku karya Buya Hamka. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf, serta Dari Hati ke Hati. Sebelum membeli buku ini, pernah terlintas untuk menulis tentang “Agama Dihapus Saja?”, dan ternyata Buya Hamka telah menulis itu jauh sebelum saya dipikirkan oleh orang tua untuk lahir di dunia dengan judul “Agama? Bisa Dihapus Saja. Di dalam buku “Dari Hati ke Hati”. Buku ini sebenarnya kumpulan tulisan Buya Hamka di majalah Islam Panji Masyarakat dalam rubrik Dari Hati ke Hati selama kurun 14 tahun (1967-1981).
Buya Hamka menulis sangat dalam tentang Agama? Bisa Dihapus Saja. Beliau melihat dunia internasional, adanya dua kutub besar yang coba dibangun oleh dunia barat. Kita mengetahui di Spanyol pernah berjaya dibawah kekuasaan kaum muslimin, tapi lihat sekarang? Jangankan kekuasaan kaum muslimin, bahkan pemuda Cordoba tidak mengenal lagi tentang adzan.
Di Turky, sejak tahun 1924 berakhir kejayaan khilafah Turky Utsmani dengan ditandai berdirinya negara sekuler Turky dibawah kekuasaan Musthafa Kemal Attaturk. Kenapa demikian bisa terjadi? Nampaknya teori Samuel Huntington tentang Clash of Civilization (perang peradaban) antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam) menjadi kenyataan.
Di dunia barat, di bangun sebuah phobia terhadap Islam. Sementara di dunia Islam (negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar) perangnya bukan melawan barat, tapi perang antara kelompok-kelompok keagamaan. Perang Sunni Syi’ah sejak jaman belum ada panas dan dingin sampai sekarang nampaknya belum menemukan titik temu untuk hidup berdampingan.
Di indonesia, sejak El-clasico antara pak Jokowi vs Prabowo, “pertarungan” demokrasi yang menghabiskan energi dan hampir-hampir saja kita bercerai dengan ayah dan ibu kandung lantaran berbeda pilihan politik. Kita bisa mentolerir, jika debat kusir masalah keagamaan terjadi dikalangan masyarakat akar rumput.
Wajar saja, secara keilmuan, merka kurang. Akan tetapi, justru debat kusir dan pembicaraan yang sia-sia justru terjadi dikalangan elit agama ini (Islam). Berbagai ijtihad fiqh berseliweran dimana-mana, bukan untuk mencerdaskan masyarakat awam (penulis sendiri adalah bagian dari masyarakat awam), bukan pula untuk meluruskan apa yang salah.
Tapi justru dalil-dalil agama ditarik sekencang-kencangnya untuk dipaksa membenarkan pendapat pribadi dan kelompok. Bahkan sekelas profesor sekalipun larut dalam arus kebodohan massa. Islam di Indonesia lambat laun akan pudar dengan sendirinya. Benar saja perkataan Al-islam mahjuubun bil muslimin, yang membuat agama islam ini terlihat menyeramkan adalah pemeluknya sendiri. Islam sejatinya agama akhlak.
Kalimat pertama dalam kitab suci adalah Arrahman dan Arrahiim, yaitu kalimat kasih sayang, kalimat cinta kasih. Kita justru luput memahami kalimat cinta kasih tersebut. Kita senang mencari kalimat kitab suci untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan dunia dan nafsu serakah untuk menguasai.
Tidak adakah sedikit saja persamaan di anatar kita untuk bersama ditengah lauatn perbedaan? Tidak adakah setitik persamaan di antara kita, untuk merekatkan lagi tali persaudaraan yang lama hancur lebur oleh kepentingan sesaat? Tidak adakah secuil persamaan diantara kita untuk saling membangun kasih dan cinta? Tidak adakah? Walau hanya sebiji zarroh.
Fazlur Rahman mewanti-wanti dalam bukunya “Tema-Tema Pokok Al-Qur’an”. Di abad modern ini, Al-Qur’an hanya sebatas sumber hukum, bukan lagi sumber akhlak atau sumber religius. Atau jangan-jangan religius kita, religius amplop.
Akhirnya, dari pada setengah-setengah “Islam Sontoloyo” ala Soekarno, mending Islam dihapus saja, ketimbang Islam dibawa untuk kepentingan amplop. Jika karena berbeda, kita tidak bisa bersama, untuk apa ada Bhineka Tunggal Ika. Dekat? Tapi saling benci, seperti Bonek vs Aremania. Untuk apa?.
Mudah-mudahan setelah PilPres ini, kau mau membuka akun medsosku yang kau blokir, lantaran aku mendukung Nurhadi Aldo untuk jadi Presiden.
Sekian!!!!!!
*Oleh Jumadil Azizi (Aktivis IMM UIN Malang)
Komentar
Posting Komentar