Ironi Pembaguan Negara Era Kekinian
Kemajuan masyarakat yang semakin modern dan makmur, ternyata tidak mampu mengubur potensi tindak kejahatan dan kekerasan sosial yang justru meningkat. Kejahatan, sadisme, dan kekerasan sosial tampaknya berada diluar kemodernan, ketradisionalan, keterbelakangan, sehingga kebiadaban dan kekejaman manusia bisa terjadi dalam masyarakat berpeadaban tinggi dengan kemakmuran ekonomi. Berita mengenai tindakan kekerasan dan kejahatan masih terus memenuhi lembaran koran, sehingga persoalannya bukan bagaimana itu terjadi, tetapi masih adakah jalan menghentikannya. Orang pun bertanya bagaimana hidup tanpa khawatir tanahnya terserobot, pergi bekerja tanpa bayaran maut bagi dirinya dan keluarganya yang ditinggalkannya dirumah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia berdabab tetap berlaku ungkapan, "yang kuasa atau kuat yang menang, atau manusia serigala bagi manusia lainnya".
Jika dikatakan bahwa prinsip paling dasar dari manusia dan alam pada akhirnya bersifat rasional, maka tata lingkungan hanya akan merupakan sekedar kaidah formal bagaimana manusia yang bertindak terhadap diri dan alam. Sebaliknya, apabila prinsip utama akhirnya non rasional atau rasional metafisis, etika lingkungan bukan hanya kaidah formal melainkan kesadaran mengenai hubungan manusia dengan yang metafisis. Sesuai dengan pandangan terakhir, sejarah dan hirarki adalah merupakan kajian penting lingkungan. Schumacher (1980), menyatakan bahwa ada hubungan hirarkis seluruh alam dan manusia menempatkan posisi puncak. Sikap penolakan terhadap fungsi asli alam bagi manusia berarti ketidaksesuaian dengan akibat kehancuran dari alam itu sendiri. Seluruhnya menunjukkan hubungan etika dengan kepentingan termasuk pelestarian lingkungan alam fisis atau metafisis. Karena itu, etika disebut filsafat praktis yang berhubungan dengan tindakan empiris.
Selama ini, pembangunan merupakan operasi teori modernisasi yang merujuk pada pandangan filosofis yang positivistis yang menyatakan bahwa, alam fisis adalah prinsip dasar seluruh keberadaan termasuk yang bersifat ruhaniah. Pandangan ini cepat memperoleh dukungan karena mudah dilihat dan diukur terutama dalam mengevaluasi kegagalan atau keberhasilan pembagunan. Namun sejak tahuan 70-an modernisasi justru dipandang telah gagal memahami realitas sehingga kebijakan pembangunan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, dehumanisasi, dan keterasingan manusia dari diri dan alam sekitarnya.(Hardiman (1990) dalam Abdur Munir Mulkhan, hal:312).
Karena itu, dimensi etik dari lingkungan alam akan berarti kesadaran mengenai hakikat manusia dan alam. Manusia memang memiliki banyak peluang untuk bertindak tetapi justru bagaimana manusia mampu dan bersedia menahan diri bukan karena tuntunan hukum, tapi kesadaran mengenai akibat tindakan itu yang di derita orang lain, walaupun mereka tidak berani menyatakannya. Kecenderungan kerakusan manusia atas sumber daya aam yang sering atas nama pembangunan bersumber dari cara pandang tidak berkembangnya bumi, alam serta energi.(Schumachder, kecil 1985). Konsepsi yang menggerakan modernisasi dan teknologisasi, juga memunculkan sikap yang tampak berlawanan. Sebagian merekomendasikan pengembangan wawasan etik dan yang lain mendorong perampasan penguasaan sumber daya alam sebanyak mungkin. Pembagunan yang dilihat dari perspektif ekonomis menyebabkan kehidupan sosial budaya diletakkan dalam kemakmuran ekonomis yang subordinatif. Tanpa perspektif metafisis dan teologis tak lama lagi industrialisasi yang membutuhkan lahan yang luas dikawasan pinggiran kota dan pedesaan akan mendorong penggusuran dan mempertinggi tingkat keresahan sosial. Kebutuhan sarana transportasi akan membelah desa dan jalan-jalan raksasa dimana banyak warga pedesaan tidak dapat mengambil banyak manfaat kecuali perubahan struktur budaya dan kepribadian mereka, pohon-pohon hijau pun dan metabolisme alam menjadi terganggu. Tak hanya alam dilepaskan dari nilai metafsis ruhaniah, manusia pun dianggap sebagai objek material yang dikelola dengan paradigma serupa. Ekspolitasi sumber daya alam mencapai puncak tertinggi atas nama kemanusiaan. Materialisme dibawah dalil-dalil ekonomi, bahkan penciptaan mesin perang dan senjata nuklir pun tak lepas dari kepentingan ekonomis.(Zen:1981).
Jika dikatakan bahwa prinsip paling dasar dari manusia dan alam pada akhirnya bersifat rasional, maka tata lingkungan hanya akan merupakan sekedar kaidah formal bagaimana manusia yang bertindak terhadap diri dan alam. Sebaliknya, apabila prinsip utama akhirnya non rasional atau rasional metafisis, etika lingkungan bukan hanya kaidah formal melainkan kesadaran mengenai hubungan manusia dengan yang metafisis. Sesuai dengan pandangan terakhir, sejarah dan hirarki adalah merupakan kajian penting lingkungan. Schumacher (1980), menyatakan bahwa ada hubungan hirarkis seluruh alam dan manusia menempatkan posisi puncak. Sikap penolakan terhadap fungsi asli alam bagi manusia berarti ketidaksesuaian dengan akibat kehancuran dari alam itu sendiri. Seluruhnya menunjukkan hubungan etika dengan kepentingan termasuk pelestarian lingkungan alam fisis atau metafisis. Karena itu, etika disebut filsafat praktis yang berhubungan dengan tindakan empiris.
Selama ini, pembangunan merupakan operasi teori modernisasi yang merujuk pada pandangan filosofis yang positivistis yang menyatakan bahwa, alam fisis adalah prinsip dasar seluruh keberadaan termasuk yang bersifat ruhaniah. Pandangan ini cepat memperoleh dukungan karena mudah dilihat dan diukur terutama dalam mengevaluasi kegagalan atau keberhasilan pembagunan. Namun sejak tahuan 70-an modernisasi justru dipandang telah gagal memahami realitas sehingga kebijakan pembangunan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, dehumanisasi, dan keterasingan manusia dari diri dan alam sekitarnya.(Hardiman (1990) dalam Abdur Munir Mulkhan, hal:312).
Karena itu, dimensi etik dari lingkungan alam akan berarti kesadaran mengenai hakikat manusia dan alam. Manusia memang memiliki banyak peluang untuk bertindak tetapi justru bagaimana manusia mampu dan bersedia menahan diri bukan karena tuntunan hukum, tapi kesadaran mengenai akibat tindakan itu yang di derita orang lain, walaupun mereka tidak berani menyatakannya. Kecenderungan kerakusan manusia atas sumber daya aam yang sering atas nama pembangunan bersumber dari cara pandang tidak berkembangnya bumi, alam serta energi.(Schumachder, kecil 1985). Konsepsi yang menggerakan modernisasi dan teknologisasi, juga memunculkan sikap yang tampak berlawanan. Sebagian merekomendasikan pengembangan wawasan etik dan yang lain mendorong perampasan penguasaan sumber daya alam sebanyak mungkin. Pembagunan yang dilihat dari perspektif ekonomis menyebabkan kehidupan sosial budaya diletakkan dalam kemakmuran ekonomis yang subordinatif. Tanpa perspektif metafisis dan teologis tak lama lagi industrialisasi yang membutuhkan lahan yang luas dikawasan pinggiran kota dan pedesaan akan mendorong penggusuran dan mempertinggi tingkat keresahan sosial. Kebutuhan sarana transportasi akan membelah desa dan jalan-jalan raksasa dimana banyak warga pedesaan tidak dapat mengambil banyak manfaat kecuali perubahan struktur budaya dan kepribadian mereka, pohon-pohon hijau pun dan metabolisme alam menjadi terganggu. Tak hanya alam dilepaskan dari nilai metafsis ruhaniah, manusia pun dianggap sebagai objek material yang dikelola dengan paradigma serupa. Ekspolitasi sumber daya alam mencapai puncak tertinggi atas nama kemanusiaan. Materialisme dibawah dalil-dalil ekonomi, bahkan penciptaan mesin perang dan senjata nuklir pun tak lepas dari kepentingan ekonomis.(Zen:1981).
Komentar
Posting Komentar