*Agama Sebagai Kompas Kehidupan 1

Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk, setiap warga negara harus mampu menciptakan kedamaian, keharmonisan dan toleransi antar sesama warga masyarakat. indonesia sebagai dasar negara pancasila, harus memedulikan agama. agama harus menjadi spirit, alam pikiran, etos kerja agar mampu memberikan dan menghargai martabat antar sesama manusia. Agama dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara tidak hanya slogan, doktrin moral-teologis, tetapi nilai-nilai agama harus mampu melekat dalam diri setiap warga masyarakat agar menjadi spirit, semangat dan etos kerja dalam menjalani kehidupan yang produktif sehingga dapat memberikan pencerahan, kebermanfaatan dan kesuksesan hidup antar sesama warga masyarakat indonesia.

Bangsa Indonesia selain berideologi Pancasila, juga tidak dapat lepas dari agama sebagai ajaran Ilahi yang menyatu di tubuh bangsa ini dan membentuk watak keindonesiaan. Nilai-nilai agama merupakan pandangan hidup yang kokoh dan menjadi bagian terpenting dari denyut-nadi kehidupan bangsa Indonesia. Agama dan umat beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa dan negara Indonesia, sehingga keberadaannya menyatu dengan jatidiri Indonesia. Siapa menjauhkan agama dari kehidupan bangsa ini sama dengan mengingkari jatidiri keindonesiaan. Para pendiri bangsa Indonesia menyadari pentingnya agama dan kehadiran Tuhan dalam perjuangan kebangsaan, sehingga dalam paragraf Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Dalam pasal 29 UUD 1945 bahkan secara tegas dicantumkan tentang eksistensi dan kemenyatuan bangsa Indonesia dengan agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaan. Agama merupakan ajaran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari  kehidupan bangsa Indonesia. Agama sebagai sumber nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Nilai-nilai instrinsik keagamaan telah memberi inspirasi bagi para pendiri bangsa dan perumus cita-cita negara dalam mewujudkan kehidupan kebangsaan yangberbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai agama bahkan tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara.

Agama manapun bukan hanya kumpulan tuntunan ritual ibadah dan doktrin moral yang terkandung dalam ajaran kitab suci. Lebih dari itu, agama merupakan model perilaku yang tercermin dalam tindakan nyata yang mendorong penganutnya memiliki watak jujur dan dipercaya,dinamis, kreatif, dan berkemajuan. Dalam pandangan Islam, Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah yang Maha Pencipta (habl min Allah),tetapi juga mengatur dan memberi arah kehidupan dalam hubungan antar umat manusia (habl min al-nas) yang membentuk peradaban hidup yang utama. Di sinilah letak esensi agama dalam kehidupan umat manusia.

Karenanya, agama bagi kehidupan bangsa Indonesia dapat dijadikan  sebagai sumber nilai pedoman hidup, panduan moral,  dan etos kemajuan. Nilai-nilai agama dapat menumbuhkan etos keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran akan masa depanyang lebih baik, pendayagunaan sumberdaya alam secara cerdas dan bertanggung jawab, inovasi atau pembaruan, kebersamaan dan toleransi, disiplin hidup, kemandirian, serta hal-hal lain yang membawa pada kemajuan hidup bangsa. Nilai-nilai agama juga dapat mengembangkan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang adil tanpa diskrimansi, serta hubungan antarumat manusia yang berkeadaban mulia. Dengan nilai-nilai agamaitu, bangsa Indonesia dapat menjalani kehidupan di abad moderen yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.

Agama dalam kontek berbangsa dan bernegara tentu harus menyatu dalam jiwa, pikiran, dan praktik hidup elite dan warga. Para elite negeri di manapun berada, termasuk di legislatif, eksekutf, dan yudikatif mesti menghayati setiap agama yang dipeluknya sekaligus menjadikan agama sebagai fondasi nilai yang esensial dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus dihantui oleh paham sekularisme negara. Sebab Indonesia memang bukan negara agama, tetapi agama menjad sumber nilai penting, sekaligus tidak boleh menjadikan negeri ini menjadi sekuler. Berbagai macam krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk merebaknya korupsi, kemaksiatan, dan ketidakadilan antara lain karena lepasnya nilai agama dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Agama dan umat beragama sungguh berperan penting dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini. Karenanya agama dan institusi keagamaan jangan direduksi oleh satu atribut dan golongan primordial tertentu, seolah mereka mewakili seluruh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Lebih-lebih manakala klaim golongan keagamaan itu hanya dijadikan alat meraih kekuasaan politik dan memperalat negara untuk memenuhi kepentingan golongan sendiri dalam hasrat ananiyah-hizbiyah yang menyala-nyala.

Dalam kehidupan kebangsaan saat banyak krisis terjadi, justru jadikan agama sebagai kekuatan moral dan intelektual yang mencerahkan. Jadikan agama sebagai Din at-Tanwir, ajaran yang mencerahkan kehidupan untuk menerangi kegelapan jiwa, pikiran, dan tindakan manusia dari apa yang oleh Peter L Berger disebut chaos yang memerlukan kanopi suci agama.  Kehidupan kebangsaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara (PP Muhammadiyah, 2014).(Teks Pidato Kebangsaan hari Minggu 12 Agustus 2018, di Dome UMM, oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr.Haedar Nashir.M.Si. dengan tema "meneguhkan nilai-nilai kebangsaan yang berkemajuan menyonsong indonesia Emas". Memaknai 73 tahun Indonesia atau Hari Kemerdekaan NKRI).

Tafsir Kata Agama
Kata “agama” sendiri yang dipakai dalam Bahasa Indonesia (dan Melayu) sebetulnya berasal dari Bahasa Sansekerta (Sanskrit) atau Pali “agama” (Jamak: agamas) dan berakar dalam tradisi agama-agama kuno India seperti Hinduisme (Hindu)), Buddisme (Buda) dan Jainisme (Jain).
Di ketiga agama kuno India ini, kata “agama” dimaknai sebagai “kitab suci” (scripture). Dalam konteks Buda, agama adalah kumpulan kitab-kitab suci dari berbagai mazhab awal Buddisme (Tripitaka = Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidamma Pitaka). Dalam Jainisme, agama adalah kumpulan teks suci berdasarkan wacana-wacana tirthankara. Sementara dalam Hinduisme, agama merujuk pada kumpulan kitab suci di sejumlah aliran atau mazhab dalam Hindu.
Meskipun akar kata “agama” berasal dari Bahasa Sansekerta atau Pali, tetapi penggunaan kata agama dalam Bahasa Indonesia itu lebih ke terjemahan dari kata “religion” dalam Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Sansekerta atau Pali, yaitu seperangkat dogma yang berisi tentang aturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan atau tentang kepercayaan manusia atas sesuatu (Zat) yang dianggap sakral, mutlak, dan supranatural (baca, Tuhan). Berikut ini sejumlah definisi mengenai kata “religion”.
Misalnya “the belief in and worship of a superhuman controlling power, especially a personal God or gods” (oxforddictionaries.com). Atau a set of beliefs concerning the cause, nature, and purpose of the universe, especially when considered as the creation of a superhuman agency or agencies, usually involving devotional and ritual observances, and often containing a moral code governing the conduct of human affairs (dictionary.com).
Ada pula yang mendefinisikan kata “religion” sebagai “human beings’ relation to that which they regard as holy, sacred, absolute, spiritual, divine, or worthy of especial reverence” (Encyclopaedia Britannica).
Sementara itu, orang Jawa biasanya mengartikan kata agama dari akar kata “ageman” atau semacam pedoman atau pegangan hidup yang berisi norma-norma tertentu harus harus ditaati.
Bukan hanya itu, dalam implementasinya, masyarakat juga sering menggunakan kata agama (baik sengaja dan serius maupun sekadar gurauan) untuk subyek-subyek lain. Misalnya, warga Amerka sering bilang bahwa “American football” itu adalah “agama” bagi mereka, sepak bola (football/soccer) adalah agama bagi warga Brazil, hockey adalah “agama” buat warga Kanada, atau rugby adalah “agama” buat warga Salandia Baru. Juga sering kita dengar ungkapan: “agama orang itu adalah uang”. Ungkapan-ungkapan itu merefleksikan atau mengandaikan bahwa agama itu merujuk pada entitas apa pun yang dianggap sakral dan fundamental dalam kehidupan sehari-hari.(Di kutip pada Website GEOTIMES, Minggu, 18 Februari 2018, Sumanto Al-Qurthuby, Antara Agama, Manusia, Dan Tuhan).

Individu tanpa agama dan keimanan, laksana sehelai bulu yang diterbangkan oleh hembusan angin, yang tentunya tidak akan tetap pada keadaan dan tidak akan mengetahui sesuatu arah tertentu, serta tidak akan menetap pada suatu tempat.
Individu tanpa agama dan keimanan, laksana manusia yang tidak ada nilainya dan akarnya, manusia yang selalu bingung dan ragu-ragu yang tidak mengetahui hakikat dirinya dan rahasia ujudnya, tidak mengetahui siapa gerangan yang memakaikan pakaian hidup ini dan kenapa dipakaikan kepadanya, serta kenapa pula kelak dilepas dari dirinya pada suatu saat tertentu!.
Individu tanpa agama dan keimanan, adalah binatang yang buas dan jahat, yang senantiasa menerkam. Dalam hal ini, kebudayaan dan undang-undang tidak sanggup sama sekali membatasi kejahatannya atau mempertumpul kuku-kuku cengkeramannya.
Masyarakat tanpa agama dan keimanan, adalah masyarakat hutan, walaupun padanya bersinar tanda-tanda kemajuan, kehidupan dan kelanggengan padanya, adalah bagi si kuat dan si kejam, bukan bagi si utama dan si taqwa. Masyarakat yang bobrok dan celaka, meskipun mewah dengan serba aneka kenikmatan dan kemewahan. Masyarakat yang rendah dan murah, karena tujuan penghuninya hanya tertuju untuk melampiaskan nafsu-nafsu syahwat dan perutnya semata, mereka bersenang-senang dan mereka makan sebagaimana binatang-bintang makan.(Dr.Yusuf Qardhawy Iman dan Kehidupan, Hal:12-13).

Dengan demikian, Sudah menjadi kewajiban bagi warga masyarakat indonesia yang menganut agama-agama di indonesia khususnya umat islam yang beragama islam adalah, untuk menampilkan agama yang berwajah kasih sayang, ramah, santun, sejuk damai, persaudaraan dan toleransi (menghargai perbedaan agama, budaya, ras, suku dan daerah). Nilai-nilai tersebut di atas tidak hanya sebatas ingatan atau hafalan di batok kepala. Melainkan wajib di amalkan dalam perilaku atau perbuatan nyata sehari-hari di kehidupan bermasyarakat.
Kalau kita ingin mendapat empati dan simpati dan di hargai oleh penganut agama lain, Maka di butuhkan untuk menggali dan menjawab setiap persoalan masa kini dengan nilai-nilai keagamaan.
Kalau kita tidak ingin mendapat caci maki, celaan, dan kebencian dari penganut agama lain, Maka di butuhkan terus meningkatkan wawasan keilmuan, konsisten beribadah dan berdo'a, menghidupkan akhlak baik, menampilkan atau mengamalkan wajah agama yang damai, sejuk, sopan santun, menghargai perbedaan dan menjalin persaudaraan antar sesama warga masyarakat indonesia.

*)Penulis adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, 21/10/2018. 13:35 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)