*Membangun Vitalitas Peradaban Islam

*Membangun Vitalitas Peradaban Islam

Islam membentuk suatu peradaban yang unik dan gampang dikenali meskipun ia melintasi batas-batas ras, suku bangsa, bahasa dan geografi. Masyarakatnya dijiwai oleh semangat yang memberinya corak tersendiri pada pelbagai lembaga politik, hukum, kesenian, dan arsitektur, kesusasteraan, sains dan kesarjanan. 
Pada inti peradaban ini terdapat sikap berserah diri arti harfiah dari kata “islam” kepada realitas ilahiah, asal sejati dari seluruh manifestasi peradaban ini. Ideal ini tetap utuh sejak kelahiran agama ini. Hal inilah yang menjadi benteng pertahanan dari leburnya islam ke dalam modernitas.
Lebih lanjut, Peneliti Professor Ali.A.Allawi mengatakan bahwa, “Peradaban islam tidaklah erbicara tentang dimensi politik atau bakan dimensi keagaaman dari islam. Ia berbicara tentang apakah kaum muslim bisa tetap memeluk ideal transendental itu dan bagaimana komitmen ini akan memengaruhi perilaku mereka pada tingkat individual maupun sosial”.
Inti peradaban islam berbeda dari peradaban-peradaban lainnya, khususnya dari tatanan dunia yang mengglobal dan dominan, jawabannya ialah bahwa peradaban islam nyaris sebagai definisinya, harus mengakui dari yang transenden (atau yang suci, nilai luhur dan tuhan) dalam jati dirinya. Jika unsur ini tiada, islam tak bisa dipaksa memasuki dinamika modernitas tanpa merusak integritasnya.(Ali.A.Allawi. Krisis Peradaban Islam, Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total, Hal:19-20)
Tiap perdaban memiliki sisi luar dan sisi dalam; sisi dalam berupa rangkaian keyakinan, dan nilai nilai yang mewarnai sisi luarnya yang berupa aneka lembaga, hukum, pemerintah dan kebudayaan. Dimensi internal islam kini tak lagi memiliki peranan penting atau kekuatan untuk mewarnai sisi luar dimana sebagian besar kaum muslim hidup.(Hal:22).

Pembentukkan sebuah Peradaban
Semua peradaban merupakan keseimbangan antara individu dan kolektivitas (atau kelompok), dan antara dunia luar dengan dunia batin. Pergeseran pergeseran nilai penting kedua hal mendasar inilah yang memberikan warna khas setiap peradaban.
Despotisme Asia dibangun atas pemujaan individu penguasa, yang didewakan dengan derajat yang diangkat ditas manusia biasa. Pada republik romawi, berbagai kebajikan dan cita cita masyarakat tertuang dalam institusi kelompok misalnya senat. Dalam contoh-contoh klasik, pemerintah yang bersifat Tiran, Autokrat, dan Despotik, kehendak individu penguasa menjadi faktor penentu dan pendorong tindakan sosial. Pada masyarakat komunis totaliter abad ke-20, hal sebaliknya. Kehendak individu dilenyapkan oleh kekuasaan kolektif yang termanifestasikan dalam partai atau elite.(Hal:24).
Para pemikir masa transisi sangat terpengaruh oleh pengalaman langsung mereka menghadapi kolonialsme dan determinisme marxis. Pengalaman kolonial mengkristalisasikan seluruh aspek peradaban dari kememangan barat. Kemenangan ini terlihat sangat mencolok karena realitas penakluk dan taklukan berdampingan dan diperbandingkan satu ama lain.
Inilah posisi pemikir, filofof moral dan pendidik Aljazair, Malek Bennabi (1905-1973). Dia mengembangkan satu teori kompleks mengenai kebangkitan dan keruntuhan perdaban perdaban dan menjelaskan dominasi barat atas islam sebagai diakibatkan kecenderungan umat muslim membiarkan pikiran mereka terjajah dalam tessinya colonisabilite (kerentanan untuk dijajah). Bennabi membawa fokus regenerasi peradaban kembali seutuhnya kepada manusia sebagai aktor dan genindividual. Lebih lanjut, Bennabi mengatakan bahwa, seluruh peradaban muncul sebagai akibat dari prinsip keagamaan yang mengartikulasikan kontur-kontur peradaban. Agama mengorganisasikan berbagai kekuatan vital manusia dan menggerakannya dari dominasi dorongan biologis dan insting untuk bertahan hidup pada tingkat yang padanya semua itu dijinakkan dibawah kekuasan spiritual agama.(Hal:126-127).
Dalam islam, fase ini terkait dengan periode kenabian dan masa masa setelahnya. Fase ini membentuk dalam apa yang disebut Bennabi sebagai “zaman ruhani”, sembari berkembang peradaban juga meningkat kompleksitas suatu sumber-sumber dayanya, memicu tahap kedua kemajuan perdaban, “zaman nalar”, fase ini melemakan dorongan agama yang muncul di era pertama dan masyarakat mulai kehilangan komitmen mereka terhadap berbagai hukum moral dari dasar keagamaan mereka. Meskipun agama itu berkembang secara materi maupun intelektual. Alam menegaskan kembali kontrolnya atas individu dan masyarakat. Secara bertahap mengurangi vitalitas peradaban itu sendiri membawanya pada kerusakan serta kemunduran.(Hal:127).
Jika umat muslin ingin menjalani kehidupan lahiriah yang merupakan ekspresi dari keimanan terdalam mereka, mereka harus kembali bagian-bagian dalam ruang publik yang telah diserahkan pada pandangan dunia lain selama berapa abad. Jika umat muslim tidak dapat menghimpun sumber daya batiniah dari agama mereka untuk menciptakan kehadiran lahiriah yang berkekuatan peradaban, maka islam sebagai sebuah peradaban mungkin akan hilang, masa depan mungkin akan dipengaruhi oleh pemberontakan-pemberontakan yang terserak oleh orang-orang mulsim yang tak puas, tetapi lama kelamaan intensitas serta cakupannya akan melemah. Seiring perjalanan waktu, berbagai penyesuain, kompromi, dan pengorbanan yang telah menandai pertemuan setiap generasi muslim dengan dunia yang didominasi pertama tama oleh barat dan kini, secra semakin meningkat, oleh kekuatan kekuatan teknologi dan pasar impersonal yang akan mengikis habis kemungkinan regenerasi perdaban islam.(Hal:436).

*)Penulis adalah Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang,02 Juni 2019,13:45 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)