*Peran Moralitas dan Estetika dalam membangun Negara

*Peran Moralitas dan Estetika dalam membangun Negara
Setiap terjadi pembicaraan antar seorang laki-laki dengan perempuan, baik dalam bentuk simbol-simbol yang melambangkan beberapa isyarat maupun dalam bentuk bahasa untuk mengungkapkan kalimat-kalimat, pasti si-perempuan berusaha memperlihatkan, melalui pembicarannya fenomena keindahan. Sedangkan si-laki-laki berusaha memperlihatkan fenomena kekuatan, meskipun kekuatan itu adalah juga merupakan sejenis keindahan. Sebagaimnana keindahan olahraga yang ditampilkan dalam olimpiade, dan digambarkan koleh patung phidias yang abadi.
Fenomena yang diperlihatkan oleh wanita dan pria tersebut, sama-sama mengeskpresikan cita rasa keindahan dalam bentuknya yang paling sederhana, sekaligus merupakan sumber fundamental yang kepadanya sejarah dan kelahiran semua seni mengacu.
Setiap interaksi yang terjadi antara seorang lak-laki dan perempuan, betapa pun bersahajanya masyarakat tempat mereka berdiam, dengan sendirinya dan berdasar hukum naluriah, pasti berada di bawah hukum-hukum keindahan yang sederhana ini, meskipun tingkat kerumitannya tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat tersebut.
Semua kesenian, seni lukis, musik, puisi, seni patung, dan sebaginya, muncul dari interaksi seperti itu, yang terjadi di sepanjang waktu dan sejarah.(Malik Bin Nabi, Hal:111).
Dari sini jelas bagi kita bahwa suatu masyarakat bagaimanapun tingkat perkembangannya pasti menghasilkan benih-benih etika dan estetika yang kita temukan dalam tradisi, adat istiadat dan konvensi-konvensi sosial mereka.
Yakni sesuatu yang kemudian kita sebuat dengan istilah “kebudayaan” dengan pengertian paling luas yang bisa dicakup oleh istilah ini. Adalah wajar bahwa, setingkat dengan perkembangan kebudayaan, benih-benih etika dan estetika tersebut semakin mendekati tingkat kesempurnaannya.
Pada gilirannya, ia akan berubah menjadi hukum-ukum tertentu yang kepadanya seluruh aktivitas masyarakat ditundukkan, dan menjadi dustur yang menjadi landasan peradaban.
Kebudayaan, dalam bentuknya yang hidup, yakni suatu aktivitas, tidaklah mempunyai sekat-sekat yang memisahkan bagian-bagiannya satu sama lain, sebagaimana halnya dengan sekat-sekat yang kita kenal ketika kita memperlajari kebudayaan secara teoritis.
Kebudayaan, dalam bentuknya yang hidup, adalah suatu kesatuan yang memiliki bagian-bagian yang saling berjalin satu sama lain dan diikat oleh ikatan-ikatan internal, yang ditentukan oleh para pemimpin bangsa yang menciptakannya sesuai dengan moral, cita rasa, dan sejarah bangsanya.
Ikatan-ikatan itulah yang memberi karakter khas kepada kebudayaan. Ia menciptakan watak husus bagi cara hidup (way of life) masyarakat dan tingkah laku individu-individunya, dalam arti ia mendefinisikan keitimewaan-keistimewaan yang bercorak kemanusiaan dan sejarah, yang khusus pada kebudayaan tersebut.
Secara khusus terdapat hubungan antara prinsip moral dan cita rasa keindahan, yang dalam kenyataannya merupakan interaksi organik yang mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Sebab, interaksi-interaksi tesebut menentukan karakter kebudayaan secara keseluruhan dan arah peradaban, ketika ia menempelkan karakter khusus tersebut pada way of life masyarakat dan tingkah laku individu-individunya.
Sebelum suatu masyarakat dipengaruhi oleh teknologi dan industri, yakni aspek-apek material atau ekonomi dalam peradaban, ia terlebih dahulu dipengaruhi oleh suatu orientasi umum dan tujuan yang komprehensif, yang membuat semua baginnya terikat dengan prinsip moral dan cita rasa keindahan yang berkembangan dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, ia terikat oleh interaksi-interaksi tertentu yang terjadi pada keduanya.(Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, Hal:112).
Manusia adalah makhluk sosial, karena manusia hidup bertetangga dengan manusia lainnya. Manusia tidak akan bisa dan susah hidup tanpa ada orang disekitar yang membantu ketika mengalami musibah. Berbicara mengenai manusia sebagai makhluk sosial. Manusia di ciptakan dengan berbagai macam agama, suku, ras dan kepercayaan. Maka manusia harus mampu hidup harmonis dengan segala perbedaan dan keberagaman.
DRS.H.Ishomuddin.MS, mengatakan bahwa, sejak lahir manusia ada ditengah-tengah manusia yang melahirkannya dan yang mengurusinya sampai ia dapat berdiri sendiri sebagai suatu pribadi. Hidup ditengah-tengah kelompok atau didalam kelompok, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Kelompok inilah yang mematangkan seorang individu menjadi suatu pribadi. Dari kenyataannnya yang demikian, hakekatnya manusia merupakan makhluk yang unik, yang merupakan perpaduan antara aspek individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan merupakan makhluk sosial sebagai perwujudan anggota kelompok atau anggota masyarakat.(Sosiologi Perspektif Islam, Hal:42).
Manusia itu pada hakikatnya tidak dapat hidup sendiri atau menyendiri. Manusia kata orang yunani “zoon pooliticon” yaitu manusia itu makhluk yang bersosial, politik, dan bergaul. Manusia tidak dapat hidup dengan mengucilkan diri atau mememisahkan diri dari orang lain. Seperti: seorang anak sangat memerlukan asuhan dan rawatan yang cukup lama agar menjadi bayi yang sehat, baik dan tumbuh besar.
Begitupun, dengan manusia harus bergabung menjadi anggota suatu kelompok yang bernama masyarakat. Hidup berkelompok dan bermasyarakat itu suatu kebutuhan yang mutlak bagi manusia, karena dapat bekerja sama, tolong-menolong, gotong-royong dan membagi fungsi dan peran sesuai dengan pekerjaan dan minat masing-masing individu.
Sejarah telah membuktikan, bahwa jatuh dan bangun suatu bangsa atau masyarakat lebih kuat ditentukan oleh tinggi atau rendahnya akhlak mereka. Selagi masyarakat memegang teguh nilai-nilai budi pekerti yang luhur lagi mulia, bangsa tersebut akan mendapatkan penghargaan dari orang atau negara lainnya. Sebaliknya bila budi pekerti dari suatu masyarakat telah rusak, demoralisasi telah meraja lela pada setiap lapisan dan tingkat, nilai-nilai kebaikan telah di injak-injak bagaikan sampah yang tiada berharga maka alamat kehancuran masyarakat tersebut telah mendekat.
Akhmad Syauqi Beik penyair asal Mesir, melukiskan betapa besarnya arti dan peranan akhlak bagi kehidupan manusiasecara kolektif, atau bagi kehidupan masyarakat sebagai berikut: “sesungguhnya (keberadaan) masyarakat itu ditentukan harga dirinya oleh tetap teguhnya akhlak mereka. Apabila mereka telah rusak/kehilangan akhlak maka hilang-lah martabat masyarakat itu”.(Akhmad Syauqi Beik. Hal:7-8).
John.W.Gardner mengatakan bahwa, ”tidak ada suatu bangsa yang dapat mencapai kebesarannya tanpa bangsa tersebut memiliki suatu kepercayan yang mempunyai dimensi-dimensi moral untuk menopang suatu peradaban besar”.
Dengan demikian, ditengah kondisi masyarakat dan negara yang sedang mengalami krisis multidimensional ini khususnya krisis moral dan akhlak. Karena itu, Masyarakat indonesia khususnya umat islam kembali sadar, mawas diri, dan melihat kembali jati diri dan identitas-nya sebagai manusia yang paling sempurna dimuka bumi dan menjadi khalifah Allah swt untuk memimpin dan mengurus kondisi lingkungan (bumi), kondisi masyarakat dan negara-nya.
Di tengah kondisi bangsa yang sangat carut-marut dengan banyaknya kasus. Narkoba, korupsi, konflik kepentingan, penyebaran informasi palsu (HOAX), isu SARA, dll. Dengan kondisi carut marut dan kesembronoan tersebut akan menjadi bom waktu (konflik, perpecahan, kekerasan, keretakan sendi-sendi negara) bagi negara indonesia. Maka dibutuhkan kesadaran atau keinsafan seluruh elemen masyarakat indonesia untuk menghidupkan nilai-nilai etika, moral, dan akhlak luhur bangsa.
Untuk memulai membangun dan membawa perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik, damai, sejahtera dan kemajuan dibutuhkan kerja sama, tolong-menolong, dan gotong-royong antar sesama warga masyarakat. Seperti bunyi Peribahasa Indonesia, “Adat hidup tolong menolong, Syariat palu memalu”.Artinya adalah: Dalam hidup sehari-hari, hendaklah bergotong-royong (kerja sama), dalam agama dan masyarakat hendaklah saling tolong-menolong.
#kebudayaan islam
#kebudayaan indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)