Makna Islam Agama yang Benar

Makna Islam Agama yang Benar
Buya Hamka mengatakan bahwa, Rasa agama membawa kepada cinta, bukan benci. Memberi maaf, bukan membalas dendam. Kagum, terharu melihat keindahan/jamal. Kemuliaan/jalal, kesempurnaan/kamal. Rasa agama yang tinggi membawa pengakuan akan adanya penguasa tertinggi pengatur semesta. Yang maha kuasa, daripadanya datang segala kekuasaan. Yang maha agung, daripadanya sumber segala keagungan. Roh raya yang daripadanya mengalir sekian roh.
Agama yang tinggi menimbulkan tasamuh, toleransi, berlapang dada, bukan picik dan ta'asub, di awak segala benar, diserang segala salah. Kadang-kadang dibawanya orang ke dalam suasana cinta, sehingga melebihi terhadap diri sendiri.(HAMKA, PANDANGAN HIDUP MUSLIM, Hal:164-165).

Agama yang benar memperluas pandangan kita. Menjadikan terangkatnya kaki yang terpaku di bumi ini, membawa kita terbang ke angkasa luas. Lepaslah kampung dan halaman, kota dan negeri, suku dan bangsa. Tidak ada yang membatas kita dengan manusia sekalian, walau di mana berdiam. agama yang benar tidaklah mengenal batas kaum, suku, bangsa, jenis, warna kulit.
Karena agama yang benar menyeru manusia pulang bersama kembali ke hadirat Tuhan rabbul alamin. Dia bukanlah tuhannya orang yang berdarah asia atau berdarah semit semata. Tetapi dia adalah Tuhan dari bumi dan langit dan segala isinya. Dia sendiri yang menadikan hakim, dan kita semuanya sama derajat, sama kedudukukan di hadapanya. Kalau pun ada yang terdekat, hanyalah karena iman dan taqwa.
Agama yang benar memperluas timbang rasa di antara sesama manusia. Tidaklah ada fanatik-kebangsaan dan tidak ada dendam bangsa. Yang ada hanya persaudaraan, tolong menolong, bantu membantu. Yang ada hanya keinsafan, bahwasannya lautan lebih luas dari daratan. Keperluan hidup dari satu benua hanya dapat dilengkapi jika ada hubungannya dengan benua yang lain. Dan jika aku ingin hidup sendirian didunia, hanya setengah hari saja aku bisa hidup. Seorangnya aku telah mati dimakan nyamuk.
Agama yang benar meniupkan kehidupan hati sanubari. Agama yang benar menimbulkan keadilan yang merata diantara sesama anak adam. Sanubari yang telah diisi dengan hakikat hidup, tidaklah mengenal benci, bahkan tidak ada ruang buat benci. Karena seluruh sanubari telah dipenuhi oleh cinta. Perlainan warna kulit dan perbedaan bahasa, bukanlah untuk bermusuhan, melainkan untuk kenal mengenal.(HAMKA,PANDANGAN HIDUP MUSLIM, Hal:166-167).
Adapun intisari ajaran islam yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad sejak 14 abad, ialah bahwa “manusia adalah satu” dan semuanya terikat dalam “persaudaraan semesta”.
Agama ini bernama “islam, kalimat “islam” itu satu rumpunnya dengan kalimat “salam”. Apabila seseorang disebut “islam”, maka hakikatnya islah “menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tidak ada keraguan”. Karena arti “islam” itu ialah “penyerahan”. Dan juga berarti “salam”, artinya “damai”. Apabila seseorang telah berdamaian dengan Tuhan, dengan sendirinya dia pun berdamai dengan sesama mansia, dengan sendirinya diapun berdamai dengan sesamanya makhluk. Dan “islam” juga berarti “selamat”. Nabi bersabda:, “orang yang disebut muslim ialah yang selamat (terpelihara) sesamanya islam dari lidahnya dan tangannya’.(HR. Ahmad).
Muslim artinya orang yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dan apabila berjumpa seorang muslim dengan seorang muslim, diucapkanlah “assalamualaikum”. (mudah-mudahan damai dan bahagia meliputi diri tuan). Sendi utama dan pertama dari ajaran islam islah kesatuan. Satu makhluk ini semuanya dan satu pula tuhan yang menciptanya. Kesatuan makhluk insani dipusatkan kepada kesatuan turunan, yaitu adam dan hawa. Lebih lanjut, perbedaan warna dan warna kulit, pertentangan kelas dan kasta tidaklah diterima oleh islam dan tidak diakuinya. Pengakuan kelebihan seseorang daripada yang lain, bukanlah dalam ukuran benda, pangkat, kebesaran dan kekayaan. Perbedaan tinggi derajat manusia atau rendahnya, menurut islam hanyalah pada amalnya dan pada taqwanya.(HAMKA; PANDANGAN HIDUP ISLAM, Hal 229).
Demi dilihatnya tugas daripada para nabi dan rasul itu, jelaslah bahwasannya undang-undang dan peraturan yang mengikat seluruh perikemanusiaan itu ditentukan meratai buat umum seluruh manusia, karena manusia itu terdiri dari ummmat yang satu. Maka jika mereka berselisih, berkelahi, bertikai dan bermusuh; bukanlah itu yang dikehendaki Tuhan an bukan untuk itu rasul diutus. Terjadinya pembangkangan, adalah dari salahnya manusia sendiri. diciptakan tuhan ummat manusia berlain lain bangsa, berlain suku, berlain tanah dan berbeda iklim, bukanlah untuk bermusuh, melainkan “li-taarafu” (saling untuk kenal mengenal). Untuk yang kelebihan membantu yang kekurangan. Karena tidak ada yang serba cukup, selain dari Tuhan sendiri. bahkan menurut ajaran islam, bukan perikemanusiaan itu saja yang terikat dalam “kesatuan besar”. Alam pun seluruhnya, sejak dari langit tinggi sampai kepada daratan bumi pun terikat dalam kesatuan peraturan. Peraturan yang terdapat pada “atom” yang paling kecil di bumi, setelah diselidiki sama saja halnya dengan peraturan yang terdapat pada matahari dan satelitnya. Kalau tidak terdapatlah kesatuan peraturan, kacau balaulah alam ini, sejak dari bintang- bintang di cakrawala, sampai kepada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi, tunduk belaka kepada satu aturan.(HAMKA: PANDANGAN HIDUP MUSLIM. Hal:233)

Kedamaian Sebagai Prinsip
            “Bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan” itulah sepenggal kalimat yang diucapkan oleh guru bangsa yaitu Buya Syafi’i Ma’arif. Jika dipahamai dengan baik tentu kalimat tersebut memiliki makna yang dalam. Walaupun negeri ini diambang perpecahan namun rasa pesimis hendaknya selalu dikesampingkan. Bangsa ini masih bisa diselamatkan dari perpecahan manakala nilai-nilai luhur seperti kedamaian menjadi prinsip hidup dalam bermasyarakat.
            Banyak diantaranya para tokoh pendiri bangsa yang memberikan tauladan yang baik dan menanamkan nilai-nilai luhur. Mereka bercita-cita menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju dan berkeadaban utama. Tentu bukan hal yang mudah, namun apabila warga bangsa atau masyarakat mau mengamalkannya pasti dapat terwujud. Ini merupakan tantangan besar khususnya umat Islam di Indonesia mengingat umat Islam sebagai mayoritas. Islam yang merupakan agama peace atau agama yang mengajarkan nilai-nilai kedamaian harus menjadi aktor utama dalam membangun masyarakat yang berkeadaban.
Agama-agama di Indonesia terutama agama Islam khususnya mempunyai tanggung jawab sosial untuk menanamkan nilai-nilai kerukunan dan kedamaian. Setiap agama pasti mempumyai cita-cita yang sangat tinggi yakni mengajarkan kebaikan atau akhlak yang luhur. Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama namun belum sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita agama.
Agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengn pemujaan (cult) belaka. Tidak perlu orang beragama jika tanpa dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Sebab, agama bukanlah pelarian semu dan dalih mencari ketrentaman spiritual semata. Ibadah-ibadah “ritual” dalam agama merupakan cara intropeksi diri. Apakah ini memancarkan kepedulian manusiawi dalam kehidupan luas yang multidimensi atau tidak, apakah pola keberagamaan kita telah menimbulkan tanggung jawab sosial apa belum. (Ahmad Najib Burhani : 2019).
 Agama menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Tanpa agama di muka bumi, bisa jadi umat manusia masih dalam keadaan jahiliyah atau bahkan lebih buruk karena tidak ada pedoman menjalani kehidupan. Sejenak mari kita kilas balik mengenai apa itu agama. Agama merupakan tata cara, konsep, sistem, doktrin, dogma, kepercayaan yang dianut oleh golongan manusia, yang terdiri dari “A” artinya tidak dan “gama” yang berarti kacau. Artinya, di sini agama bertujuan menjadikan dunia senantiasa dalam kedamaian, pun tidak ada satupun ajaran agama yang menjerumuskan penganutnya melakukan kekacauan, justru menciptakan ketertiban.
Agama merupakan pilar kemajuan sumber daya manusia dalam membangun peradaban yang lebih mulia. Perkembangan agama berjalan beriringan dengan banyaknya ahli agama yang membawa dakwahnya ke penjuru dunia. Doktrin yang dibawa oleh ahli agama tentu saja menyesuaikan kondisi masyarakat yang menjadi targetnya.
Sehingga tidak heran jika antara umat A dan B berbeda memahami dan mengamalkan ajaran agama. Bahkan antara umat A daerah pegunungan dan umat A daerah perkotaan pun terdapat perbedaan. Perbedaan penerimaan dogma agama dipengaruhi oleh keadaan geografis, perubahan zaman, waktu, tingkat pendidik, dan status sosial.
Perbedaan keyakinan maupun peribadahan tidak jarang mendatangkan polemik. Perdebatan hingga adu kuat antar kelompok kerap terjadi. biasanya hal tersebut dilakukan oleh oknum, karena seharusnya jika membawa nama agama, maka tidak ada hal buruk di dalamnya.
Maka kemudian muncul, tatkala terjadi peristiwa mengecewakan yang dilakukan oleh seorang maupun kelompok atau organisasi agama, jangan salahkan agamanya. Tetapi salahkan individu(pelaku) atau kelompok dan organisasi yang sedang terjangkit perilaku menyimpang dalam beragama.
Dalam dunia yang kaya perbedaan, maka kita perlu memahami atau setidaknya tahu, bahwa ada perbedaan dalam hal agama di sekitar kita. Untuk menyikapi dan memahami keberagaman beragama, kita dituntut untuk pandai berpikir jernih dan dapat memposisikan diri.
Lantas, seharusnya bagaiamana sikap kita dalam menyikapi perbedaan cara beragama? David Trueblood, seorang filsuf agama pernah mengatakan bahwa sangat sukar bagi seorang yang menganut agama dengan sifat bersemangat memandang agama lain dengan rasa cinta dan rasa hormat.
Ekspresi yang beragam dalam beragama memunculkan pertanyaan bagaimana cara menyikapinya. Baik dalam satu agama yang sama maupun lintas agama, sudah barang tentu memiliki berbagai pandangan kepercayaan terhadap sistem agama yang berbeda bagi masing-masing anggota penganutnya, yang harus dibentengi dengan sikap toleransi.
Bagi sebagian orang yang terlibat langsung pada suatu sistem kepercayaan, sistem berpikir, atau dogma tertentu tentunya akan mengalami kesulitan untuk menerima perbedaan yang terjadi di dalam agama maupun lintas agama.
Kesulitan dalam menerima perbedaan ini seperti minyak dan air yang tidak bisa disatukan massa. Dan seperti kutub syamali dan kutub janubi sebuah magnet, keduanya tidak bersatu dan selalu tolak-menolak sehingga satu atau keduanya saling berjauhan.
Seorang yang telah terlanjur terikat, mempercayai, memegang teguh suatu ajaran, paham, atau aliran yang telah sampai kepadanya, akan menjadi lebih sulit dalam menerima perbedaan dalam agamanya maupun lintas agama. Agar lebih sederhana, kita lihat pada polemik kebolehan dan larangan tentang merokok yang masih menjadi permasalahan bagi gaya hidup yang berbeda dari manusia.
Sehingga kemudian terlintas bahwa baik dan buruk, benar atau salah adalah subjektifitas. Dari sini terlihat manfaat ketika kita dapat berpikir jernih dan pandai memposisikan diri. Untuk melatih hal tersebut, maka dalam kehidupan beragama, atau istilah perbedaan ekspresi nilai-nilai keagamaan dibutuhkan apa yang namanya filsafat.
Agama merupakan sistem kepercayaan yang dipercayai personal penganutnya. Kebenarannya akan dinilai oleh masing-masing penganutnya. Agama menjanjikan kedamaian dan keselamatan bagi penganutnya di alam akhirat nanti. Untuk menemui jalan paling benar bukanlah ranah dari agama, apalagi filsafat.
Kemudian kebenaran mutlak dapat kita kembalikan kepada sistem kepercayaan kita, yang paling berkuasa tanpa pernah menyalahgunakan kekuasaan, dan maha adil dengan segala perhitungan, yakni Tuhan Yang Mahas Esa. Kemerdekaan berpikir seyogyanya dapat kita manfaatkan sebaik mungkin.
Dapat memaknai hidup seluas mungkin adalah anugrah dari sang pemberi kemungkinan pada segala hal dengan kun fayakunNya. Sebaik-baik jalan mencapai kebenaran(tidak mutlak) adalah dengan tetap bergerak, berpikir, bertindak, dan berdialektika terhadap informasi-informasi, sehingga tersusun argumentasi tulis maupun lisan dalam menangani keberagaman beragama.
Untuk mencapai kesuksesan, tak cukup dengan satu kali melangkah. Butuh lebih dari satu langkah untuk mencapai kesuksesan. Begitu pula untuk membangun kesadaran bertoleransi terhadap perbedaan ekspresi beragama, baik internal maupun eksternal (satu agama maupun lintas agama).
*)Penulis Fitratul Akbar, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Kota Malang, 17 Februari 2020, 11:40 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)