Manusia Religius (2)


Manusia tampak mengada sebagai manusia berkat memiliki badan, tetapi sekaligus manusia tampak mengada sebagai manusia juga berkat memiliki ruhani. Lalu bagaimanakah hubungan atau jalin-kelindan antara badan dan ruhani? Bagaimanakah duduk perkara antara badan dan ruhani? Bagaimanakah sifat-sifat badan dan ruhani yang dimiliki manusia?
Manusia awam dan pemikir bersepakat bahwa hakikat manusia – lebih-lebih makrifat manusia – tetaplah makhluk ruhaniah kendati senantiasa mengada bersama badan. Pada saat bersamaan, badan menjadi manifestasi ruhani sekaligus ruhani menjadi spiritualisasi badan. Badan tanpa ruhani bukanlah manusia pada satu sisi dan pada sisi lain ruhani tanpa badan juga bukan manusia.
Karena itu, manusia adalah makhluk ruhaniah yang membadan atau meraga. Sebagai makhluk ruhaniah, dengan berbagai sudut pandang dan cara pandang, dia senantiasa memiliki kecenderungan untuk selalu pulang kembali kepada hakikat-makrifatnya; berjumpa dan atau bersatu dengan hakikat terdalamnya sebagai makhluk ruhaniah.
Itu sebabnya, bisa dikatakan, olah keruhanian telah menjadi salah satu ciri keberadaan manusia di dunia; dalam arti setiap manusia hidup di dunia selalu melakukan olah keruhanian dengan takaran masing-masing manusia berbeda; dengan jalan masing-masing yang bisa berbeda atau mirip. Tak ada manusia yang tak melakukan olah keruhanian. Tanpa olah keruhanian, manusia bakal kehilangan eksistensinya sebagai makhluk ruhaniah. Maka, olah keruhanian menjadi menifestasi keberadaan manusia.
Untuk apakah olah keruhanian selalu dijalankan oleh manusia? Olah keruhanian itu dimaksudkan untuk menghantarkan ruhani, jiwa, atau batin manusia mencapai pelbagai kemungkinan Ultim atau Kudus-suci yang berpuncak pada Sesuatu nan Agung - yang secara bahasawi bisa bernama bermacam-macam, bergantung pada agama atau keyakinan masing-masing manusia.
Mengapa demikian? Pasalnya, sebagai makhluk ruhaniah manusia senantiasa rindu meraih puncak Sesuatu nan Agung; tak bisa mengelak sekejab pun dari Sesuatu nan Agung. Di sini kerinduan mencapai Sesuatu nan Agung itu bisa dalam arti bertemu-berjumpa atau bersatu-bersama secara simbolis-mistis dengan Sesuatu nan Agung sehingga Sesuatu nan Agung itu dilihat manusia sebagai sesuatu yang semata-mata transenden atau sesuatu yang imanen. Melaksanakan transendensi atau imanensi kemudian menjadi aktivitas-pokok manusia dalam mencapai kemungkinan Ultim yang bermuara pada Sesuatu nan Agung. Karena itu, olah keruhanian adalah jalan pulang-kembali manusia kepada hakikat-makrifat dirinya sebagai makhluk ruhaniah dalam rangka mencapai kemungkinan Ultimnya.
Untuk mencapai pelbagai kemungkinan Ultim atau Kudus yang berpuncak pada Sesuatu nan Agung, olah keruhanian yang berupa transendensi atau imanensi membutuhkan jalan keruhanian. Kendati terdapat manusia secara individul yang menempuh jalan keruhanian tertentu nan sunyi-kudus, pada umumnya jalan keruhanian tertentu dipilih, dianut, diikuti, dan ditempuh oleh sekelompok manusia untuk mengintensifkan dan memaksimalkan olah keruhanian mereka.
Seturut dengan nama atau sebutan olah keruhanian yang bermacam-macam, jalan keruhanian pun ada bermacam-macam. Spiritualitas dan religiositas merupakan dua nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Bahasa memang belum menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan religiositas; hanya menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral, sedang istilah religius sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas lebih luas daripada makna religiositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian.
Diluar kalangan misionaris yang didorong semangat evangelisme, sikap lain yang lebih positif terhadap islam tumbuh. Sikap itu muncul dari gagasan bahwa islam, dalam batas-batasnya sendiri, adalah ekspresi autentik kebutuhan manusia akan kepercayaan kepada tuhan, dan bahwa itu harus dipandang sebagai hal yang bernilai ada dirinya sendiri. Pandangan ini pertama kali didorong oleh konsepsi sejarawan Skotlandia, Thomas Carlyle (w. 1881), yang melihat bahwa agama sesuatu yang inheren dalam hakikat manusia (konsep homo religious). Disini, autensitas sebuah agama harus dinilai dalam kaitannya dengan lingkungan intelektual dan kulturalnya sendiri. Ini disampaikannya dalam kuliah yang berpengaruh luas dan diterbitkan dengan judul On Heroes, Hero-Worship, And the heroic in history (tentang para pahlawan, penyembahan pahlawan, dan yang herois dalam sejarah, 1841). Salah satu bagian kuliah itu menyentuh soal Muhammad, berjudul "The hero as prophet ("pahlawan sebagai nabi"). Didalamnya Carlyle mengajukan argumentasi bahwa dilihat dalam kerangka-kerangkanya sendiri, Muhammad adalah seorang nabi sejati.
Lebih lanjut, tokoh yang mendukung ajaran islam adalah, pandangan Maurice dalam buku the religions of the world and their relations with christianity/agama agama dunia dan hbungannya dengan kristen/18841. ia membahasa soal soal yang menurutnya muncul karena situasi zamannya. saai itu inggris menjadi negara penjajah dan menurutnya, ada kewajiban untuk menyebarkan alkitab kepada kalangan non kristen. ini mengharuskaan para misonaris untuk mengetahui agama agama non kristen.
dalam pandangan maurice, islam sukses karena agama itu membawa kembali ke dalam dunia  akna kehendak tuhan yang maha tinggi, ke arah mana semua kehendak manusia harus tertuju, sebuah penekanan mengenai ketidakmungkinan manusia tergantung sepenuhnya kepada diri mereka sendiri. selanjutnya, dia berpendapat bahwa islam dan kristen mengajarkan sejumlah kebenaran pokok yang sama. itu berarati bahwa islam telah memainkan peran penting di dunai ini dengan menyerukan manusia untuk mengetahui kebenaran ini. itu juga berarti bahwa amuhammad dapat dianggap mendapat panggilan suci dari tuhan. menurutnya, kesaksian muhammad telah menyelamatkan gereja "jika tidak ada penekanan yang tegas megnenai satu tuhan yang mutlak, maka tidak akan ada keyakinan kepada kristus".

sejarah universal dan pisisi islam
gagasan bahwa manusia pada hakikatnya bersifat religius sebenarnya dapat dipandang sebagai kelanjutan belaka dari idealisme yang berkembnag, terutama dalam kesarjaan jerman. dalam upaya merekaa untuk mencari pemahaman mengenai sejarah universal manusia, mereka menemukan agama sebagai unsur yang paling esensial. jejak hal ini dapat ditelusuri dalam filsafat immanuel kant (w.1804), filsuf jerman kenamaan. dalam die religion innerhalb der grenzen der bloben vrnuunft/agama di dalam batas akal budi(rasio) murni, 1793, kant menulis, "kemuliaan allah berbicara terutama melalui dunia hal, yaitu langit yang berbintang di atasku, dan hukum moral dalam diriku/hati nuraniku".
dalam pernaytaan itu, ia membdakan agama sejati dan iman eklesiatik. yang pertama mengandung dua unsur: hukum moral, institusi yang menjadi artikulatif karena peran akal praktis, dan cara cara tertentu untuk melihat hukum moral itu sebagai perintah  yang ilahir. disini, keberadaan tuhan dipandang sebagai praanggapan mutlak bagi kelangsungan imperatif moral. sementara itu, iman eklesiastik didasrkan pada keyakinan yang diwahyukan melalui kitab suci, dan ini harus dinilai dari sejauh mana kesesuainnya dengan sejati. menurutnya, antar iman eklssiasitik, kristen punya poisisi unik karena agama itu hampir sepenuhnya mengekspresikan agama sejati. namun, ia menambahkan bahwa iman eklesiastik lain juga punya kemungkinan untuk mencapai posisi itu.
garis pemikiran inni dilanjutkan friedrich schleiermacher (w.1834), filsuf jerman lain yang menyatakan suatu mengenai islam. dalam uber die religion: reden an die gebildeten unter ihren verachtem/tentang agama :ceramah ceramah kepada yang berpenidikan di antara yang meremahkannya(1799), ia menyatakan bahwa basisi semua agama adalah perasaan manusia. lebih spesifik lagi, suatu penghayatan mengenai ketergantungan sepenuhnya kepad tuhan/yang disebutnya dengan dunia roh. perasaan ini ada pada semua manusia, ia mendahului pengetahuan dan perbuataan, tetapi manusia kemudian mengartikulasikannya dalam berbagai gagasan dan menyatakannya dalam berbagai tindakan. inilah yang memunculkan berbagai komunitas keagamaaan, yang masing masingnya didirkan oleh "pahlawan agana" dengan teologi dan praktek keagamaan masing masing.(EKSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, VOL 6, HAL 245-246).

lebih lanjut, pemikr lain yang konsen dengan pekembangan pada aspek kebudayaan, gagasan dan kepercayaan kegamaan adalah johanes gottfried herder(w.1803), pemikir jerman lain. ia berupaya melihat berbagai macam kebudayaan ddan masyarakat serta agama, yang memainkan peran penting dalam pembentukannya, dan menempatkannya dalam kerangka besar sejaraah manusia. dalam ideen zur philosophie der geschicte dr meenxhhei/gagasan mengenai filsafat sejarah manusia/1791, ia menyatakan bahwa unit terpokok umat manusia adalah masyarakat atau bangsa, yang dibentuk dalam lingkungan fisik tertentu oleh cara hidup yang secara gradual mengekpresikan  diri dalam kepercayaan. setiap masyarakat tidak dapat direudksi satu dan lainnya, bahkan hingga tingkat tertentu tak dapat diperbandingkan. dalam konteks ini, islam dipandang herder sebagai ekspresi semangat orang orang arab yang sejak jauh sebelumnya telah menampilkan konsepsi yang sublim. ia menambahkan bahwa sebagian besar orang arab bersifat soliter dan romantis. muhammad menjelmakan apa yanag sudah lama merupakan potensi laten di atanh arab, dengan bantuan gagasan kristen dan yahudi yang diktehuinya. gerakan yang dimulainya memperlihatkan kekuatan dan kelemahan gerakan seperti itu. itu diciptakan dan disburkan oleh nilai nilai padang pasir, keberanian dan kesetiaan,, yakni mengangkat orang arab dari penyembah kekutan alam menjadi penyembah tuhan, dari sebuah negara barbar menjadi sebuah peradaban tingkat menengah.
kemudian, upaya lain untuk memberi makna pada sejarah universal dan posisi agam didalamnya dilakukan oleh georg wilhem friedrich hegel (w.1831), filsuf jerman lainnya. dalam kuliahnnya di universitas berlin dan ditebitkan dengan judul vorlesungen uber die philosphie dr weltgeschichte/ceramah ceramah tentang filsafat sejarah dunia(1832), ia menekankan kembali butir pemikiran herder bahwa, yang memebntuk dan menghidupkan sebuah masyarakat atau kebudayaan adalah roh terttnu. namun keduanya berbeda pendapat mengenai bagaimana berbagai roh ini berhubungan satu sama lain. bagi herder, semuanya bertemu dalam ketegangan atau konflik yang mungkin saja berakhir dengan harmoni dan kesimbnagan. sementara bagi hegel, semuanya merupakan berbagai manifestasi atau fase ddari roh universal yang tunggal. oleh karena itu, sejarah manusia terdiri dari  berbagai fase, dan pada masing masing fase itulah roh universal memanifestasikan diri dalam roh atau kehendak masyarakat, kebudayaan atau bangsa tertentu.
dipertanyakan pula di mana poisisi orang orang arab atau kaum muslim dalam proses ini. menurut hegel, mereka memainkan peran penting karena roh universal pernah memanifestasikan diri dalam satu fase sejarah mereka. mereka berperan dalam menegaskan prinsip kesatuan yang murni bahwa penyembahan kepada yang satu tetap merupakan satu satunya ikatan dengan apa sebuah keseluruhan dapat bersatu. ia mengatakan bahwa, penerimaan dan penegasan pirnsip ini menghasilkan orang orang dengan kualitas moral tinggi. namuna, ia menambahkan bahwa dalam inti kekuatan prinsip itu sendiri terkandung  kelemhannya. kemenangan orang orang arab adalah kememangan antusiasme mengendepankan gagasan universalistas, tetapi tidak satu pun landasannya yang kuat. sekali antusiasme ini mati, maka tak akan ada lagi yang tersisa. tegasnya, "islam sudah sejak lama memudar dari panggung sejarah, dan pelan pelan mundur ke dalam ketenteraman dan ketenangan timur".(EKSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, VOL 6, HAL 246-247).

*penulis fitratul akbar, mahasisiwa program studi ekonomi syariah, fakultas agama islam, universitas muhammadiyah malang. kota bima, 11 mei 2020, 16:30 WIT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Meneladani Perjuangan bapak Pendiri Bangsa.

Islam Melindungi Kemanusiaan Abad 21

Mahatma Gandhi dan Manusia Ahimsa (Anti Kekerasan)